Rabu, 21 Juli 2010

Makhluk berkesadaran

Enam menit menjelang pukul tujuh malam, tepat di perempatan Rawasari setelah Bypass Pramuka. Saya terjebak disini, lampu merah selama tiga menit, selalu. Hari ini sedikit berbeda, ada pemandangan yang menarik perhatian saya, sangat menarik. Seorang bapak paruh baya, mengenakan kemeja putih (atau yang tadinya putih hingga sekarang menjadi kecoklatan) lusuh sobek dan sangat dekil, celana pendek dengan kondisi yang tidak jauh beda dengan atasannya tanpa menggunakan alas kaki. Dan yang paling membuat mata saya fokus adalah dia membawa sebuah botol bekas air minum mineral yang diisi dengan banyak kerikil kecil, sangat lembut ia memegang botol bekas itu seolah teman lama yang sudah lama tidak bersua, kuasumsikan itu digunakan untuk mengamen, hidupnya bergantung pada botol bekas berisi kerikil itu. Dia berjalan tergopoh-gopoh di depan para pengendara yang sedang menanti lampu berganti merah ke hijau, termasuk saya, pelan dia berjalan dan terseok. Menyisir pinggiran bis untuk sampai ke trotoar seberang. Pemandangan itu hanya sekilas saja, sebentar, terlalu cepat. Namun sosok pria tua itu terus memenuhi pikiran saya sampai beberapa kilometer ke depan, sampai di rumah, sampai jari ini bertemu papan ketik di kamar saya. Saya iba, entah kenapa, malam itu saya iba. Pertanyaannya, apakah saya pantas iba? Saya sama sekali tidak mengenal pria tua itu, melihatnya pun baru pertama kali ini. Lantas kenapa saya bisa begitu iba? Sepanjang jalan pulang saya berpikir, membuat imitasi eksistensi si bapak dalam alam kesadaran saya, dan saya membuat latar sejarah si bapak hingga kehidupannya kini, sekarang saya adalah Tuhan bagi eksistensi palsu bapak tua tadi yang ada di pikiran saya.
Lalu saya teringat Jean Paul Sartre saat menerangkan hubungan antar manusia, perkataannya yang paling saya ingat “aku adalah makhluk berkesadaran dalam makhluk berkesadaran yang lain, dalam dunia wujud untuk wujud yang lainnya. Wujud untuk wujud lain memiliki dua bentuk” saya ingat benar teori Sartre yang itu, yang kemudian baru saya mengerti dari kasus si bapak tua. Kesadaran si bapak saya ciptakan dalam kesadaran saya sebagai makhluk kesadaran lain diluar eksistensi bapak tadi. Dengan kata lain, bapak itu memiliki dua wujud berkesadaran. Yaitu wujud dirinya sendiri berdasarkan kesadaran dan eksistensi sang bapak itu sendiri dan wujud yang kubangun berdasarkan kesadaran dan eksistensi diriku sendiri sebagai eksistensi lain. Eksistensi si bapak saya mainkan dalam alam pikiran saya sebagai sang pencipta wujud bapak tadi yang kedua, saya mainkan layaknya Tuhan memainkan bonekanya. Jahatkan saya? Saya tidak bisa menjawab itu, hidup bukanlah serangkaian repetisi. Evolusi pikiran manusia selama 10.000 tahun membuat penciptaan tak pernah usai, jika pemcipataan alam berhenti maka yang berjalan adalah penciptaan dari alam pikiran kita. Kita dapat bertindak sebagai Tuhan dalam pikiran kita, tidak terikat pada konsensus dan norma-norma yang terikat dalam realitas sosial. Saya menjadi sepenuhnya sadar atas diriku hanya ketika saya sadar bahwa saya adalah sesosok objek bagi persepsi orang lain. Dalam kasus si bapak, saya lah pengendali kesadaran itu. Dia tidak sadar bahwa dirinya diobjektifikasi oleh subjektif saya. Lantas bagaimana saya tahu bahwa diri saya terobjektifikasi atau tidak? Sartre menjawab hanya dengan menyadari bahwa saya adalah sebuah objek bagi orang lain, tubuh yang aktif dan diperuntukkan bagi persepsi dan asumsi orang lain. Kembali ke pertanyaan awal, pantaskah saya iba terhadap kondisi si bapak? Jawabnya YA!