Sabtu, 06 November 2010

Jawa; Kosmologi dan Kepercayaan Lokal

Nama: I Nyoman Indra Kresna Wijaya
NPM: 0906526355
Mata Kuliah: Etnografi Indonesia




Jika kita berbicara tentang masyarakat Jawa atau orang Jawa, maka hal tersebut tidak akan lepas dari kepercayaan lokal atau kosmologi yang beredar di kalangan orang Jawa. Kosmologi-kosmologi yang secara jelas mempengaruhi bahkan menguasai sebagian besar kebudayaan Jawa, pola pikir masyarakatnya dan cara mereka bertindak. Misalnya kosmologi seputar perairan baik mulai dari bentuk sungai, danau atau yang lebih dikenal Kedhung hingga kosmologi mengenai lautan. Kita tahu kalau sebagian pola kehidupan orang Jawa dihabiskan di daerah pesisir, entah di pesisir selatan maupun utara pulau Jawa. Masing-masing wilayah ini memiliki pengetahuan lokal tersendiri yang mengajarkan bagaimana masyarakatnya memperlakukan laut, masyarakat pesisir selatan melihat laut sebagai suatu wilayah yang gaib, sakral dan harus dihormati bahkan ditakuti. Berbeda dengan pemahaman orang Jawa di bagian pesisir utara yang melihat laut sebagai wilayah yang menyenangkan, tempat mencari penghidupan dan bermain anak-anak.

Selain wilayah perairan dan pesisir, kosmologi yang beredar dan berakar kuat juga menyangkut seputar wilayah daratan dan dataran tinggi seperti bukit atau lereng gunung. Salah satu gunung yang dianggap terpenting dalam hal kosmologi dan ritual pada masyarakat Jawa adalah Gunung Merapi (2.968 mdpl, terletak di provinsi Jawa Tengah dan Yogyakarta), entah bagaimana Merapi telah menjadi leganda nyata dalam masyarakat Jawa apalagi jika kita melihat headline-headline surat kabar dan berita utama di media elektronik yang sedang melakukan “pengawasan” penuh terhadap Merapi karena sedang dalam masa aktif. Namun banyak warga disekitar lereng Merapi yang enggan dievakuasi karena mereka yakin Merapi tidak akan mencelakai mereka. Keyakinan tersebut sarat dengan kepercayaan masyarakat Jawa, khususnya yang berada di sekitar wilayah lereng Merapi, mereka percaya bahwa Merapi memiliki nyawa sebagai penunggu, sehingga untuk menghindari kemarahan penunggunya warga perlu mengadakan ritual dan juga memberikan sesaji. Yang menarik dalam kesepakatan mengenai pengetahuan lokal ini adalah, hanya ada beberapa orang atau orang-orang terpilih yang dapat melakukan hubungan dan mengetahui kehendak dari penunggu wilayah Merapi tersebut, seperti Alm. Mbah Maridjan, jadi tidak semua orang memiliki akses istimewa ini. Orang-orang yang memiliki kemampuan untuk berhubungan dengan dunia gaib atau berhubungan dengan penunggu wilayah-wilayah yang disakralkan oleh masyarakat Jawa, kemudian mendapatkan tempat istimewa dan privilege dalam komunitasnya. Pengetahuan lokal tersebut menarik untuk dibahas, karena pulau Jawa, sebagai pulau terpadat di Indonesia memiliki jumlah penduduk yang hampir 95% beragama Islam dan sebagaimana diketahui, agama Islam sangat melarang hal-hal yang berbau mistis dan bersifat “kepercayaan yang bercabang” antara Tuhan dan roh-roh Leluhur.

Dalam The Religion of Java, Clifford Geertz melihat kehidupan masyarakat Jawa sebagai suatu sistem sosial dengan kebudayaan Jawa yang akulturatif dan agamanya yang sinkretik. Geertz melihat tiga sub-kebudayaan Jawa yang masing-masing merupakan struktur-struktur sosial yang berlainan. Struktur-struktur tersebut adalah Abangan, Santri dan Priyayi. Geertz mendefinisikan agama sebagai suatu sistem simbol yang bertindak untuk memantapkan perasaan-perasaan (moods) dan motivasi secara kuat, menyeluruh, dan bertahan lama pada diri manusia, dengan cara memformulasikan konsepsi-konsepsi mengenai suatu hukum (order) yang berlaku umum berkenaan dengan eksistensi manusia dan menyelimuti konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura tertentu yang mencerminkan kenyataan, sehingga perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi tersenut nampaknya secara tersendiri (unik) adalah nyata ada. Dijelaskan dalam buku The Religion of Java hubungan-hubungan antara struktur-struktur sosial yang ada dalam suatu masyarakat dengan pengorganisasian dan perwujudan simbol-simbol, dan bagaimana para anggota masyarakat mewujudkan adanya integrasi dan disintegrasi dengan cara mengorganisasi dan mewujudkan simbol-simbol tertentu. Sehingga, perbedaan-perbedaan yang nampak diantara struktur-struktur sosial yang ada dalam masyarakat tersebut hanyalah bersifat komplementer. Seperti terlihat hubungan elit-elit spiritual dan rakyat biasa dalam masyarakat Jawa, sesungguhnya yang terjadi pada ksus Merapi adalah kepercayaan masyarakat yang berlebih kepada mereka-mereka yang dianggap sepuh atau sebagai juru kunci suatu tempat keramat. Hubungan yang terjadi bersifat komplementer, dimana para elit spiritual dibutuhkan sebagai orang yang mengerti dan dapat berhubungan dengan yang berkuasa atau sering disebut dalam masyarakat Jawa sebagai sing bahurekso sehingga mereka mendapat status sosial lebih tinggi dari masyarakat awam, dan tentu saja masyarakat awam juga dibutuhkan oleh para elit spritual untuk melanggengkan atau legalisasi jabatan “sepuh” tersebut.

Bicara soal kosmologi dan kepercayaan orang Jawa, maka tidak akan lepas dari yang namanya tradisi ruwatan dan slametan. Slametan kadang disebut juga dengan kenduren atau kita mengenalnya dengan kendurian, adalah sebuah upacara keagamaan paling umum dalam adat Jawa. Menurut Geertz, slametan melambangkan kesatuan misits dan sosial bagi mereka individu Jawa yang ikut serta di dalamnya. Menurut saya, hal ini adalah semaca proses untuk menyeimbangkan kosmis di lingkungan sekitar warga yang mengadakan slametan (kurang lebih sama dengan upacara adat Nalin Taun pada suku Dayak Bentian, hanya dalam skala yang lebih kecil), slametan merupakan wadah kerjasama antar-warga yang mempertemukan berbagai aspek kehidupan sosial dan pengalaman perseorangan. Tradisi slametan sendiri terbagi atas dua fungsi dan tujuan yang hendak dicapai dengan diadakan slametan itu sendiri. Pertama slametan desa atau bersih desa dan slametan selingan yang hanya diadakan pada saat terjadi peristiwa khusus yang tidak berulang tiap tahunnya. Dalam kasus Merapi jika kita lihat beberapa tahun belakangan, warga sekitar lereng Merapi sering melakukan upacara slametan desa dengan tujuan (menurut kepercayaan Jawa) meruwat atau menyucikan hubungan antara manusia (warga lereng) dengan ruang (wilayah Merapi), apa yang ingin dibersihkan dari desa itu tentu saja adalah roh-roh jahat yang berbahaya bagi aktivitas warga sekitar. Slametan desa ini dilakukan dengan cara memberi persembahan / aturi sesaji berupa makanan atau hidangn beserta lauk-pauknya dan hasil bumi kepada Danyang desa (roh penjaga) di tempat yang diketahui warga sebagai tempat bersemayam beliau. Desa dengan golongan Santri yang kuat, slametan desa dilakukan di mesjid dengan doa-doa Islam, sedangkan bila terjadi di desa-desa yang tidak memiliki tempat bersemayam danyang akan dilakukan di balai desa atau rumah kepala desa dan diadakan acara pertunjukan wayang kulit. Slametan tidak selalu dengan hal-hal yang penuh aroma mistik dan sakral, bagi desa dengan danyang tertentu maka akan diadakan acara hiburan dan penuh dengan rokok. Pola slametan bersih desa kadang dilakukan sebagai tindakan preventif, menolak bala, menghindari bencana alam dan sebagainya, manjur atau tidaknya para pelakunya hanya akan menganggap bahwa sesaji tidak diterima dengan baik oleh danyang atau danyang sudah terlanjur marah dan tidak dapat ditawar lagi kemarahannya. Menurut Geertz, slametan entah itu bersih desa atau selingan adalah upaya yang awalnya dirancang untuk mengintegrasikan rakyat yang kurang akrab satu sama lain. Dengan diadakannya slametan, maka warga akan terpaksa bekerjasama dan hal ini akan mengakrabkan mereka secara sadar maupun tidak. Lebih jauh tentang tradisi dalam masyarakat Jawa yang kental dengan unsur-unsur kosmologis dan kadang berlawanan dengan hukum Islam, dapat dilihat dalam The Religion of Java. Kaum abangan adalah kaum petani, sedangkan priyayi adalah kaum aristokratnya. Kaum abangan Jawa, mewakili sintese petani atas unsur yang diterimanya dari kota dan warisan kesukuan, kaum abangan Jawa adalah mereka yang melesarikan budaya kejawen (yang percaya dengan hal gaib dan mistis) berbeda dengan kaum santri yang lebih menerima hal-hal yang tertulis dalam kitab suci. Jawa sebagai suatu wilayah kultur-komplex adalah tempat berkembangnya budaya yang berorientasi terhadap sistem religi, kepercayaan dan agama yang berpusat pada konsep tentang hal yang gaib (mysterium) yang dianggap maha-dhasyat (tremendum) dan keramat (sacred) oleh manusia yang berada di dalamnya. Sifat dari hal yang gaib serta keremat tersebut adalah abadi, dahsyat, baik, adil, bijaksana, tidak terlihat dan tidak berubah, tak terbatas dan sebaginya. Intinya, sifat pada azasnya sulit dilukiskan dengan bahasa manusia, karena hal yang gaib serta keramat itu memang memiliki sifat-sifat yang sebenarnya tidak mungkin dapat dicakup oleh pikiran dan akal manusia. Kepercayaan masyarakat Jawa mengenai hal-hal gaib tidak dapat diintervensi dengan akal sehat karena hal tersebutlah yang rasional bagi mereka, saat ada beberapa warga yang menolak untuk dievakuasi dalam bencana Merapi itu karena kepercayaan mereka yang yakin bahwa Eyang Sapu Jagad (sebutan bagi masyarakat untuk Gunung Merapi) tidak akan mencelakakan keturunan beliau. Begitulah yang terjadi di tanah Jawa, itulah realitas Jawa sebagai pulau dengan ragam budayanya sendiri, berdiri diantara kosmologi dan kondisi sosial masyarakatnya.



DAFTAR PUSTAKA:
Geertz, Clifford. The Religion of Java. London: The Free Press of Glencoe. 1960.
Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press. 1987.
Pamungkas, Ragil. Tradisi Ruwatan. Yogyakarta: Narasi. 2008.

Rabu, 18 Agustus 2010

Agama Sebagai Sebuah Paradigma

katakanlah agama itu sebuah paradigma. berarti paling tidak dikenal dua konsep dalam mengembangkan dan mengkritisinya. menggunakan konsep falsifikasi Popper (Karl Popper, 1902-1994) atau konsep Kuhnian (Thomas Samuel Kuhn, 1922-1996). kita tahu bagaimana konsep falsifikasi Popper itu, paradigma yang baru muncul untuk menumbangkan paradigma lama, yang baru dianggap lebih mendekati kebenaran dibandingkan paradigma lama. sedangkan konsep Kuhnian mengatakan bahwa paradigma baru muncul setelah adanya anomali dan terjadi revolusi, paradigma lama dianggap tidak mampu memberikan jawaban yang memuaskan untuk sebuah masalah. dan paradigma baru dalam konsep Kuhnian tidak seperti paradigma baru dalam konsep falsifikasi Popper yang didaulat lebih benar dan dianggap mampu menjawab semua pertanyaan (sebelum muncul lagi yang baru). dalam konsep Kuhnian, paradigma baru sejajar dengan paradigma lama, walau berbeda, mereka dapat saling mengisi. saat paradigma lama mengalami kekurangan dalam memberi jawaban maka paradigma baru dapat mengisi kekurangan tersebut, begitu juga sebaliknya. tidak ada yang mendominasi sebuah kebenaran dalam konsep ini.

gunakanlah dua konsep ini dalam pemikiran agama. jika dilihat dari konsep falsifikasi Popper, maka yang akan terjadi adalah agama yang dianggap lebih benar adalah agama yang muncul belakangan. agama yang lama tumbang karena kebenaran hanyalah milik agama yang baru. maka untuk apa adanya keberagaman agama. kalau yang baru lebih baik, maka untuk apa agama yang lama bertahan? dapat ditarik kesimpulan bahwa seharusnya hanya ada satu agama dan agama lain lebih baik ditinggalkan. dan mungkin sewaktu-waktu agama yang baru itupun harus ditinggalkan karena ditumbangkan oleh (calon) agama baru yang akan lebih baik.

lalu gunakan konsep Kuhnian. agama baru muncul untuk melengkapi agama yang lama, dan agama yang lama pun dapat melengkapi agama yang baru. kalau begitu untuk apa kita menganut satu agama? secara logika akan lebih baik kita menganut semua agama agar mencapai kesempurnaan untuk mencapai pengertian ketuhanan yang sempurna.

kedua konsep diatas memberikan satu kesimpulan "untuk apa ada agama, jika memilih satu atau banyak agama tidak dapat memberi jawaban?" kita hanya diperbolehkan memeluk satu agama dan tidak boleh tidak beragama. jika pertanyaan terus berkembang dan terus mengalahkan konsep jawaban (yang katanya merupakan produk budaya suatu masyarakat) berarti agama hanyalah sebuah produk yang sekali digunakan. bila gunanya sudah tidak ada maka harus ditingalkan dan mencari referensi dari agama lain. agama ada untuk mencapai pengertian tentang tuhan, lantas bagaimana kita dapat mencapai tuhan jika kesadaran kita tentang konsep ke-Tuhan-an terus dikoyak dan dirombak oleh konsep agama yang selama ini didaulat memberi jawaban yang memuaskan padahal pertanyaan terus muncul.

biarlah agama berkembang secra objektif dalam masyarakat, dan kepercayaan kita berkembang subjektif dalam diri dan pikiran sendiri.

Jumat, 13 Agustus 2010

Modern

Dahulu,orang-orang bisa menjadi teman dengan hubungan yang intens dan terus-menerus. Hanya mereka yang saling kenal dan tahu satu sama lain bisa mengeluarkan pernyataan "ia teman saya". Sekarang, di zaman serba modern ini, hanya dengan menekan tombol "add as friend" maka otomatis anda menjadi teman dari si A, si B dan sebagainya. Teman-teman ini jumlahnya bisa mencapai ratusan bahkan ribuan, saya yakin kalau jumlah orang yang benar-benar anda kenal dalam friend list situs jejaring sosial anda itu tidak sampai 50% atau mungkin tidak sampai 20%. Aneh sekali kalau kemudian keluar pernyataan dari mulut anda "ya sama kenal orang itu" jika ditanya seseorang mengenai orang lain. Saya sendiri pun jujur bahwa lebih dari separuh teman saya di situs Facebook sama sekali tidak saya kenal. Inilah hasil dari era modern, teknologi merajai, tidak perlu lagi repot karena semua serba instan dan memanjakan.



Era modern yang kini mulai usang dan membusuk bersama ideologi-ideologi mentah Hegel, Hume atau Kant mulai ditinggalkan. Produksi barang konsumsi yang menjadi ciri khas dari era industri yang mengawal era modern lewat Revolusi Prancis atau era Empirisme Inggris mulai layu dan tidak menarik. Kini orang-orang mulai beralih kepada Pascamodernisme, dengan Jean-Francois Lyotard yang dianggap sebagai salah satu konseptor awalnya. Lyotard yakin bahwa masyarakat tidak secara terus menerus dan biadab disusun berdasarkan tekonologi, namun juga lewat permainan bahasa dan diskursus, narasi-narasi menjadi penting dan tidak dapat ditinggalkan. Nampaknya poin inilah yang dilewatkan oleh pelaku Pascamodernisme kebanyakan. Entah bagaimana, teknologi dianggap mampu membebaskan umat manusia dari belenggu kebodohan dan keterbelakangan, yang lebih ekstrim penindasan atas manusia lain. Teknologi juga dianggap bertujuan untuk memberi tujuan bagi kehidupan sosial, jadilah kita sebuah robot dari hasil kebudayaan sendiri yang akhirnya malah tergantung padavariabel terkecil dari kebudayaan itu sendiri. Kasarnya kita ini telah menjadi budak dari kebudayaan.



Marx semasa hidupnya hanya mengenal manusia memperbudak manusia lain. Kaum Borjuis memeras kaum Proletar bagai vampir menghisap darah korbannya sampai habis denyut nadi terakhirnya. Yang dilihat Marx kala itu hanyalah komodifikasi barang yang sederhana, semisal dari bentuk balok kayu menjadi meja ukir yang kemudian terjadi alienasi antara si pengrajin dengan barang yang dihasilkannya. Sesederhana itu, bagaimana reaksi Marx jika di masa kini melihat barang yang jauh melampaui nilai gunanya? Lihatlah tas bermerk Gucci atau Louis Vuitton, harganya sungguh tidak masuk akal jika dilihat dari kegunaan barang tersebut. Alienasi semacam inilah yang kini terjadi pada dunia, hasil dari Modernitas dan percampuran dari Pascamodernime Lyotard. Dalam Modern and Self-Identity, Anthony Giddens menyatakan bahwa kita telah beralih ke Pascatradisional atau yang dikenal "Posmo". Dalam tatanan ini, individu dihadapkan pada pilihan-pilihan yang untuk dapat memilihnya diperlukan kecerdasan, pertimbangan dan usahare fleksi untuk mengkonstruksi keadaan biografis hingga tercipta tatanan melalui regulasi, institusi, hukum dan tatanan moral. Sayangnya, dengan terbiasanya generasi kita dengan pop culture dan instant culture, kita menjadi tidak peduli terhadap syarat utama dalam memilih tadi. Jadilah kita apa yang disebutMarx sebagai binatang intelek, cerdas namun tidak bisa menjatuhkan pilihankarena telah terbiasa dimanja oleh teknologi hasil intelektualitas kita sendiri. Para pencipta produk kebudayaan yang akhirnya menjadi budak kebudayaanitu sendiri dan menjadi produk dari era Pascamodernisme.

Rabu, 21 Juli 2010

Makhluk berkesadaran

Enam menit menjelang pukul tujuh malam, tepat di perempatan Rawasari setelah Bypass Pramuka. Saya terjebak disini, lampu merah selama tiga menit, selalu. Hari ini sedikit berbeda, ada pemandangan yang menarik perhatian saya, sangat menarik. Seorang bapak paruh baya, mengenakan kemeja putih (atau yang tadinya putih hingga sekarang menjadi kecoklatan) lusuh sobek dan sangat dekil, celana pendek dengan kondisi yang tidak jauh beda dengan atasannya tanpa menggunakan alas kaki. Dan yang paling membuat mata saya fokus adalah dia membawa sebuah botol bekas air minum mineral yang diisi dengan banyak kerikil kecil, sangat lembut ia memegang botol bekas itu seolah teman lama yang sudah lama tidak bersua, kuasumsikan itu digunakan untuk mengamen, hidupnya bergantung pada botol bekas berisi kerikil itu. Dia berjalan tergopoh-gopoh di depan para pengendara yang sedang menanti lampu berganti merah ke hijau, termasuk saya, pelan dia berjalan dan terseok. Menyisir pinggiran bis untuk sampai ke trotoar seberang. Pemandangan itu hanya sekilas saja, sebentar, terlalu cepat. Namun sosok pria tua itu terus memenuhi pikiran saya sampai beberapa kilometer ke depan, sampai di rumah, sampai jari ini bertemu papan ketik di kamar saya. Saya iba, entah kenapa, malam itu saya iba. Pertanyaannya, apakah saya pantas iba? Saya sama sekali tidak mengenal pria tua itu, melihatnya pun baru pertama kali ini. Lantas kenapa saya bisa begitu iba? Sepanjang jalan pulang saya berpikir, membuat imitasi eksistensi si bapak dalam alam kesadaran saya, dan saya membuat latar sejarah si bapak hingga kehidupannya kini, sekarang saya adalah Tuhan bagi eksistensi palsu bapak tua tadi yang ada di pikiran saya.
Lalu saya teringat Jean Paul Sartre saat menerangkan hubungan antar manusia, perkataannya yang paling saya ingat “aku adalah makhluk berkesadaran dalam makhluk berkesadaran yang lain, dalam dunia wujud untuk wujud yang lainnya. Wujud untuk wujud lain memiliki dua bentuk” saya ingat benar teori Sartre yang itu, yang kemudian baru saya mengerti dari kasus si bapak tua. Kesadaran si bapak saya ciptakan dalam kesadaran saya sebagai makhluk kesadaran lain diluar eksistensi bapak tadi. Dengan kata lain, bapak itu memiliki dua wujud berkesadaran. Yaitu wujud dirinya sendiri berdasarkan kesadaran dan eksistensi sang bapak itu sendiri dan wujud yang kubangun berdasarkan kesadaran dan eksistensi diriku sendiri sebagai eksistensi lain. Eksistensi si bapak saya mainkan dalam alam pikiran saya sebagai sang pencipta wujud bapak tadi yang kedua, saya mainkan layaknya Tuhan memainkan bonekanya. Jahatkan saya? Saya tidak bisa menjawab itu, hidup bukanlah serangkaian repetisi. Evolusi pikiran manusia selama 10.000 tahun membuat penciptaan tak pernah usai, jika pemcipataan alam berhenti maka yang berjalan adalah penciptaan dari alam pikiran kita. Kita dapat bertindak sebagai Tuhan dalam pikiran kita, tidak terikat pada konsensus dan norma-norma yang terikat dalam realitas sosial. Saya menjadi sepenuhnya sadar atas diriku hanya ketika saya sadar bahwa saya adalah sesosok objek bagi persepsi orang lain. Dalam kasus si bapak, saya lah pengendali kesadaran itu. Dia tidak sadar bahwa dirinya diobjektifikasi oleh subjektif saya. Lantas bagaimana saya tahu bahwa diri saya terobjektifikasi atau tidak? Sartre menjawab hanya dengan menyadari bahwa saya adalah sebuah objek bagi orang lain, tubuh yang aktif dan diperuntukkan bagi persepsi dan asumsi orang lain. Kembali ke pertanyaan awal, pantaskah saya iba terhadap kondisi si bapak? Jawabnya YA!

Minggu, 28 Februari 2010

Budaya Politik Masyarakat Jawa dan Implikasinya dalam Percaturan Politik Indonesia

Oleh: I Nyoman Indra Kresna Wijaya, 0906526355

Manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial senantiasa melakukan interaksi dengan manusia lain dalam usaha untuk memujudkan kebutuhan hidupnya. Namun kebutuhan tersebut bukan hanya yang bersifat dasar seperti pemenuhan sandang, pangan dan papan juga biologis. Lebih dari itu, manusia juga membutuhkan pengakuan eksistensi atau pemberian penghargaan dari orang lain dalam bentuk pujian, upah kerja, status dalam kedudukan politis dan sebagainya. Kehidupan politik yang bagian dari keseharian dalam interaksi antar warga negara dengan pemerintah yang berkuasa, baik institusi formal maupun non-formal dapat membentuk suatu pendapat dan paradigma tentang praktik-praktik berperilaku secara politik dalam suatu sistem politik. Lewat kehidupan politik dan praktik-praktik tersebut, kita bisa melihat dan mengukur pengetahuan-pengetahuan, paradigma, perasaan serta sikap warga negara terhadap negaranya, pemerintahnya, pimpinan dalam partai politik dan lain-lain. Namun pertanyaannya adalah bagaimana manusia dapat menjadi teratur dalam melaksanakan kegiatan politik? seperti yang sudah diketahui bahwa manusia bukanlah makhluk yang Altruis dan manusia dapat melakukan apa saja demi mendapat kekuasaan dan nilai-nilai dominan dalam masyarakat, atau yang seperti dikatakan filsuf Prancis, Montesquieu bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lain (Homo Homini Lupus). Hal semacam ini yang menciptakan kekhawatiran terhadap pelaksanaan kegiatan politik di masyarakat. Bagaimana kestabilan tetap terjaga dan tidak ada hal yang terjadi diluar tatanan moral dilakukan dengan alasan politis.
Salah satunya adalah menciptakan stabilitas dalam politik adalah dengan budaya politik. Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan para elitenya. Seperti yang terjadi di Indonesia, kebudayaan Indonesia cenderung membagi secara tajam antara kelompok elite dan kelompok massa.
Budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam sikapnya dan bagian terhadap peranan warga dalam sistem itu. Dengan kata lain, bagimana distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat dan negara tersebut. Lebih jauh mereka menyatakan, bahwa warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki. Dengan orientasi itu pula mereka menilai serta mempertanyakan tempat dan peranan mereka di dalam sistem politik. Istilah budaya politik mulai dikenal sejak adanya aliran perilaku (Behavioralisme), namun istilah ini masih menjadi kontroversial karena konsep utamanya kurang jelas, dan dikritik dengan dengan menyebutkan bahwa penggabungan dua konsep budaya dan politik saja sudah mengandung kebingungan apalagi jika dijadikan konsep untuk menjelaskan fenomena politik.
Berikut ini adalah beberapa pengertian budaya politik yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk lebih memahami secara teoritis sebagai berikut : Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, tahayul, dan mitos. Kesemuanya dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberikan rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain. Selain itu, budaya politik dapat dilihat dari aspek doktrin dan aspek generiknya. Yang pertama menekankan pada isi atau materi, seperti sosialisme, demokrasi, atau nasionalisme. Yang kedua (aspek generik) menganalisis bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik, seperti militan, utopis, terbuka, atau tertutup. Hakikat dan ciri budaya politik yang menyangkut masalah nilai-nilai adalah prinsip dasar yang melandasi suatu pandangan hidup yang berhubungan dengan masalah tujuan. Bentuk budaya politik menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan (konformitas atau mendorong inisiatif kebebasan), sikap terhadap mobilitas (mempertahankan status quo atau men¬dorong mobilitas), prioritas kebijakan (menekankan ekonomi atau politik).
Dengan pengertian budaya politik di atas, nampaknya membawa kita pada suatu pemahaman konsep yang memadukan dua tingkat orientasi politik, yaitu sistem dan individu. Dengan orientasi yang bersifat individual ini, tidaklah berarti bahwa dalam memandang sistem politiknya kita menganggap masyarakat akan cenderung bergerak ke arah individualisme. Jauh dari anggapan yang demikian, pandangan ini melihat aspek individu dalam orientasi politik hanya sebagai pengakuan akan adanya fenomena dalam masyarakat secara keseluruhan tidak dapat melepaskan diri dari orientasi individual. Seorang tokoh politik juga menyatakan bahwa budaya politik dapat didefinisikan dalam dua cara. Pertama, jika terkonsentrasi pada individu, budaya politik merupakan fokus psikologis. Artinya bagaimana cara-cara seseorang melihat sistem politik. Apa yang dia rasakan dan ia pikir tentang simbol, lembaga dan aturan yang ada dalam tatanan politik dan bagaimana pula ia meresponnya. Kedua, budaya politik merujuk pada orientasi kolektif rakyat terhadap elemen-elemen dasar dalam sistem politiknya, dan inilah yang disebut “pendekatan sistem”.
Lalu bagaimana dengan budaya politik masyarakat Jawa di Indonesia? Masalah politik dalam budaya Jawa harus ditelusuri kembali konsep kekuasaan yang berlaku. Kita harus dapat memahami cara berpikir, paradigma umum yang berlaku, cara bersikap dan bertindak “orang Jawa”. Orang Jawa dikenal memiliki cara berpikir yang berjenjang, yaitu: nalar, manah dan menggalih. Dengan nalar kita mendapatkan argumentasi, alasan, wawasan, penjelasan dan analisis (lebih ke arah metode berpikir deduktif). Manah berkaitan dengan hal-hal yang dijadikan dasar masalah, yakni bagaimana menuju sasaran yang tepat dalam memecahkan masalah. Sedangkan berpikir Menggalih bersifat integralistis, komprehensif, multidisipliner dan multidimensional untuk dapat mencapai sebuah esensi (tentu pengertian “esensi” disini berbeda dengan pengertian “esensi” pada filsafat eksistensialisme, namun lebih ke arah “esensi” humanisme).
Berdasarkan pola pikir khas Jawa yang berjenjang tersebut maka kekuasaan harus jatuh pada sosok Satriya yang dikenal sebagai pemimpin yang merakyat atau Panakawan. Dalam mitos Jawa, Panakawan digambarkan dengan tokoh Semar, Gareng, Petruk, Bagong. Semar atau Sabdopalon Noyogenggong merupakan pengejewantahan wahyu Tuhan (Sabdo) dan bertugas ngemong para raja dan memberi nasihat bagi para raja. Para tokoh Panakawan ini digambarkan dengan dandanan seperti rakyat jelata (tokoh Semar dan Petruk yang membawa semacam arit, menyimbolkan mereka adalah petani) namun mengerti apa yang harus dilakukan atau kebijakan apa yang harus dikeluarkan oleh raja agar dapat mencakup seluruh kepentingan rakyat banyak, tidak hanya elit tertentu. Dalam kosmologi Jawa juga dikenal dengan pembagian zaman atau pembagian kala (waktu), akan ada saat dimana terjadi bencana alam dan masalah-masalah sosial seperti banjir, kekeringan, gunung meletus, tindak kriminal, ketidakadilan yang akan terjadi pada masa Kalabendhu, ini memiliki makna spiritualis bahwa kondisi-kondisi seperti itu tidak akan terjadi bila seorang raja masih memiliki kekuasaan. Artinya legitimasi kekuasaan yang mendukung konsep konsentrisitas akan hilang (koncatan wahyu) apabila raja tidak menggunakan kekuasaan bagi kesejahteraan dunia dan alam semesta.
Kekuasaan dalam konsep pemahaman Barat adalah gejala khas antarmanusia, yaitu: kemampuan untuk memaksakan kehendak pada orang lain agar melakukan tindakan-tindakan yang kita kehendaki, dalam pelaksanaan konsep ini dapat menjebak kita ke arah pandangan “tujuan menghalalkan segala cara” (teori Machiavelli). Pada paradigma Barat tentang kekuasaan ada empat ciri pokok, yaitu: 1. abstrak; 2. sumbernya heterogen; 3. pemupukannya tidak kenal batas; dan 4. secara moral ada yang baik dan ada yang buruk.
Menurut Benedict R.O.G. Anderson, kekuasaan menurut paham Jawa adalah segala kekuatan yang menyatakan diri dalam alam dan juga merupakan energi Tuhan tanpa bentuk yang selalu kreatif meresapi seluruh kosmos. Hipotesis Anderson menyatakan bahwa konsep kekuasaan Jawa mengandung tiga gejala kekuasaan yang dapat diamati dari perkembangan sejarah kerajaan-kerajaan Jawa khususnya Mataram. Pertama, kekuasaan itu konkret. Kekuasaan itu diturunkan oleh Kang Murbeng Dumadi atau Tuhan Yang Esa atas dasar “wahyu keprabon” kepada “wakilnya” di dunia ini. Dalam Babad Tanah Djawi; misalnya dikemukakan oleh pangeran Poeger bahwa raja sebagai penjelmaan Tuhan. Menurut Serat Centhini, dikatakan bahwa raja dalah wujud Tuhan yang terlihat. Selanjutnya menurut Wulangreh, raja adalah Kinarya wakil ing Hyang Agung (bertindak sebagai wakil Tuhan). Kekuasaan politik adalah ungkapan kesaktian atas dasar wahyu, walaupun penuh misteri, tetap konkret. Kedua, kekuasaan itu homogen, bersifat satu dan sama, karena jumlah kekuasaan dalam alam semesta selalu tetap. Menurut paham Jawa, kekuasaan merupakan ungakapan realitas yang sama, berasal dari sumber tunggal yang sama, berkualitas sama dan lebih dulu ada daripada hal lainnya, termasuk pengertian baik dan buruk. Paham ini berasal dari anggapan bahwa hakekat alam semesta itu tetap, tidak bertambah luas atau menyempit. Ketiga, kekuasaan tidak mempersoalkan dari mana ia berasal dan kemudian menyerap bebagai gumpalan kekuasaan baik kawan maupun lawan. Berbeda dengan pemikiran Barat yang bertolak dari asumsi apriori kultural, ternyata sejak zaman prasejarah dalam monotheisme kebudayaan Jawa pun sudah terdapat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang dikenal sebagai Sang Hyang Widhi, Sang Hyang Antaya dan sebagainya. Jika dilihat dari pandangan eksistensialisme menurut Kierkegaard, raja/pemimpin massa adalah individu yang telah mencapai tahapan kesadaran religius. Berbeda dengan rakyat yang dipimpin, hanya mencapai tahapan kesadaran statis. Hanya individu yang telah mencapai kesadaran religius yang dapat memimpin massa yang hanya mencapai kesadaran-kesadaran dibawah kesadaran religius tersebut (statis dan etis). Sedangkan menurut Nietzsche, raja adalah individu yang telah mencapai tingkatan Ubersmen/Super Human, manusia ini adalah manusia yang pantas menjadi pemimpin bagi massa yang lemah dan tidak berdaya, dengan jelas Nietzsche menolak ide demokrasi karena demokrasi hanya untuk bangsa atau sistem politik yang lemah saja dan demokrasi lebih konyol dari perkawinan sedarah, bagaimana mungkin suatu negara dapat mengambil keputusan dari banyak pikiran (rakyat), keputusan hanya boleh diputuskan oleh para raja dan pemimpin yang absolut. Ini sesuai dengan kosmologi Jawa yang menyatakan raja adalah representasi Tuhan di dunia dan menolak ide demokratisasi.
Lantas bagaimana konsep politik dalam pemahaman Jawa berperan dalam pembentukan karakter budaya politik bangsa Indonesia. Suku Jawa yang dapat dikatakan mendominasi jumlah polulasi di Indonesia, terlebih lagi pusat politik negara ini terdapat di Pulau Jawa dan entah bagaimana sejak pemimpin pertama bangsa Indonesia berasal dari keturunan Jawa. Pola umum perilaku masyarakat Jawa yang cenderung menghindarkan diri pada situasi konflik dan konsep dalam masyarakat Jawa yang membentuk pola “tindak-tanduk yang wajar” yang berupa pengekangan emosi dan pembatasan antusiasme diri serta ambisi. Beberapa ciri ini yang kemudian menjadi ciri berpolitik masyarakat Indonesia. Dari segi tatanan pemerintahan juga dapat dilihat sistem hierarki yang diturunkan dari konsep-konsep kekuasaan kerajaan-kerajaan Jawa, mulai dari raja yang berkuasa absolut (sampai era Soeharto) dan para pembantu-pembantu raja. Dalam konsep geopolitik dan geostrategi wilayah Nusantara adalah cikal-bakal wilayah Indonesia, berangkat dari Serat Pararaton, dalam Tan Amukti Palapa yang dikumandangkan Gajah Mada disebutkan dengan jelas wilayah-wilayah Nusantara dengan jelas. Dilihat dari perilaku birokrat, di Jawa masih secara kuat diwarnai oleh semangat aristrokratis, yang sebenarnya melekat pada kultur setempat dan pada tingkat tertentu malah mengutungkan organisasi. Karena, misalnya dengan semangat tersebut ketaatan para bawahan dibina, dan dengan semangat itu pula kewibawaan, pengaruh dan efektivitas kepemimpinan atasan dipelihara. Nilai kekuasaan tradisional cenderung terintegrasi dengan kepemimpinan formal, atau, kepemipinan formal hampir secara otomatis akan mendapat dukungan nilai tradisional dan hal ini dilakukan secara sadar. Dampak yang yang negatif adalah bahwa agak sulit bagi para bawahan (seperti abdhi dalem) untuk mengoreksi atasan yang melakukan kekeliruan, disamping juga sulit bagi bawahan untuk mengembangkan inovasinya. Akibat lain yang dapat dikatakan positif dari sikap dasar kepatuhan rakyat dan keinginan memelihara keamanan posisi para pejabat adalah ketaatan pada segala petunjuk pemerintah pusat.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa karena alam pikiran Jawa yang religius – sumber konsep kekuasaan dalam kebudayaan Jawa, segala sesuatunya kembali kepada Kang Murbeng Dumadi, Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini mempengaruhi konsep berpolitik bangsa Indonesia hingga kini, mulai dari Pancasila yang menjadi dasar negara, pada sila pertama disebutkan bahwa “keTuhanan Yang Maha Esa” sampai pola perpolitikan yang dipengaruhi oleh kerajaan-kerajaan besar seperti Majapahit dan Mataram. Diluar konteks Demokrasi dan sistem birokrasi dimana rakyat dan bawahan dapat berpengaruh pada pemerintahan, pada masyarakat Jawa pada masa kerajaan kekuasaan absolut ditangan raja dan rakyat tidak memiliki hak dan turut campur dalam perpolitikan, namun raja pada masa itu benar-benar bertanggung jawab sepenuhya kepada rakyat. Hingga kini pola pikir masyarakat Indonesia masih terpengaruh pola pikir masyarakat Jawa dimana Pulau Jawa seolah-olah menjadi pusat kekuatan politik Indonesia.




sumber-sumber:
Alfian & Nazaruddin Sjamsuddin. Profil Budaya Politik Indonesia. Jakarta: PT. Temprint, 1991
Almond, Gabriel A. & Sidney Verba. Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara. Princeton, NJ: Princeton University Press, 1963.
Budiardjo, Miriam: Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Kebudayaan Politik dan Aplikasi Budaya Lokal yang Patut diterapkan pada Sistem Politik Indonesia

Oleh: I Nyoman Indra Kresna Wijaya, 0906526355


Kebudayaan politik secara garis besar mengacu pada orientasi politik sikap terhadap sistem politik dan bagian-bagiannya yang lain serta sikap terhadap peranan kita sendiri dalam sistem tersebut. Sistem politik seperti yang di-internalisasikan kedalam kesadaran, perasaan, dan evaluasi penduduknya. Orang atau individu diberikan jabatan politik sama seperti mereka disosialisasikan kedalam peran non-politis dan sistem sosial. Berbagai konflik kebudayaan politik mengandung banyak persamaan dengan konflik kebudayaan lainnya (seperti kebudayaan ekonomi atau religius), dan proses-proses akulturasi politik lebih dapat dimengerti jika kita memandangnya dari sudut resistansi dan tendensi perubahan fungsional dan inkorporatif kebudayaan pada umumnya.
Oleh karena itu, konsep kebudayaan politik dapat membantu kita untuk menghindarkan diri dari pelebaran istilah seperti yang terdapat dalam terminologi umum antropologi sebagai etos kultural dan dari asumsi homogenitas yang diterapkan dalam konsep tertentu, konsep kebudayaan ini juga memungkinkan kita untuk merumuskan hipotesa tentang hubungan-hubungan antara komponen dari kebudayaan yang berbeda dan menguji hipotesa ini secara empiris. Dengan konsep sosialisasi politik maka dapat dimungkinkan keluar dari jebakan-jebakan asumsi paradigma multikultural yang sangat sederhana dan yang berkaitan dengan masalah hubungan antara pola-pola umum pertumbuhan perilaku politik dalam masyarakat.
Kebudayaan politik suatu bangsa merupakan distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa tersebut, cara yang sistematis dari orientasi individual terhadap objek-objek politik. Berdasarkan klasifikasi mengenai tipe-tipe orientasi politik yang mengikuti klasifikasi Parsons dan Shils, seperti yang menjadi konsensus dimana-mana, orientasi itu mengacu pada aspek-aspek dan objek yang disetujui serta hubungan antar keduanya, termasuk pada:
1. Orientasi Kognitif: pengetahuan dan kepercayaan tentang politik, peranan dan segala kewajibannya, serta input dan outputnya.
2. Orientasi Afektif: perasaan terhadap sistem politik; peranannya, para aktor politk dan penampilannya.
3. Orientasi Evaluatif: keputusan dan pendapat tentang objek-objek politik yang melibatkan pihak-pihak yang berpolitik dari seluruh rangkaian proses tersebut.


Maka secara sistematis dapat diperhatikan hal-hal yang dijelaskan diatas sebagai berikut:
1. Pengetahuan apa yang dimiliki seseorang tentang negara dan sistem politiknya dalam pengertian umum, seperti sejarah, ukuran lokasi (geopolitik), kekuasaan, sifat-sifat konstitualnya dan lain-lain.
2. Bagaimana pemahaman seseorang tentang struktur dan peranan kaum elit politik dan pengajuan-pengajuan kebijaksanaan yang diperkenalkan kedalam arus pembuatan kebijakan-kebijakan yang bersifat memajukan.
3. Bagaimana pemahaman yang dimiliki tentang arus pengokohan kebijaksanaan yang dapat meruntuhkan, struktur-struktur, individu-individu beserta keputusan yang terlibatkan dalam seluruh rangkaian proses politik.
Mencirikan kebudayaan politik suatu bangsa berarti harus mengisi sampel penduduk negara tersebut secara valid ke dalam suatu matriks. Kebudayaan politik menjelma menjadi frekuensi berbagai jenis orientasi kognitif, afektif dan evaluatif terhadap sistem politik secara umum, aspek-aspek input dan outputnya serta sejumlah pandangan pribadi sebagai aktor politik. Dari pembagian sampel tersebut, maka dapat dilihat pembagian masyarakat berdasarkan pengetian mengenai kebudayaan politik, secara garis besar dibagi menjadi tiga:
1. Kebudayaan Politik Parokial. Dalam sebuah masyarakat ini tidak ada peran-peran politik yang bersifat khusus, kepala suku atau “shamanship” atau dukun merupakan pelebaran dari peran-peran yang bersifat politis-ekonomis, keagamaan dan bagi anggota-anggota masyarakat ini orientasi politik terhadap peran-peran ini tidak terpisah dari orientasi religius dan sosial mereka (keadaan sosial yang dijalani terpengaruh besar dari paradigma religius masyarakat tersebut). Orientasi parokial juga menyatakan tidak adanya harapan-harapan akan perubahan yang komparatif, yang di-inisiasikan oleh sistem politik dengan kata lain, kaum parokial tidak mengharapkan apapun dari sistem politik. Secara relatif, parokialisme murni itu berlangsung dalam sistem tradisional yang lebih sederhana dimana spesialisasi politik berada di jenjang yang sangat minim, dan parokialisme dalam sistem politik yang diferensiasi labih bersifat afektif dan suku di Afrika dan komunitas lokal yang otonom. Artinya hampir semua bagian dari bangsa itu tidak peduli akan masalah-masalah politik yang terjadi.

2. Kebudayaan Politik Subjek. Frekuensi orientasi yang tinggi terhadap sistem politik yang terdiferensiatif dan aspek output dari sistem tersebut. Namun, frekuensi orientasi terhadap objek-objek input secara khusus dan terhadap pribadi sebagai partisipan yang aktif, mendekati nol. Para subjek menyadari akan otoritas pemerintah dan mereka secara efektif diarahkan terhadap otoritas tersebut. Mereka mungkin menunjukkan kebanggaan terhadap sistem tersebut atau mungkin tidak menyukainya dan mungkin juga mereka menilai sistem itu absah atau sebaliknya. Tapi hubungan terhadap sistem secara umum dan terhadap output dari sistem politik itu secara esensial merupakan hubungan yang bersifat pasif, walaupun ada bentuk kompetisi yang terbatas dan tersedia dalam kebudayaan mereka. Orientasi subjek dalam sistem politik yang telah mengembangkan pranata-pranata demokrasi lebih bersifat afektif dan normatif daripada kognitif. Karenanya golongan bangsawan Prancis sangat menyadari akan wujud institusi demokrasi. Dapat dikatakan bahwa sebagian dari anggota masyarakat itu sudah mulai memiliki kesadaran politik

3. Kebudayaan Politik Partisipan. Tipe kebudayaan politik ini adalah suatu bentuk dimana anggota-anggota masyarakat cenderung diorientasikan secara eksplisist terhadap sistem sebagai keseluruhan dan terhadap struktur dan proses politik serta administratif; dengan kata lain terhadap aspek input dan output dari sistem politik tersebut, anggota-anggota pemerintahan yang partisipatif dapat secara diarahkan kepada berbagai objek politik yang bermacam-macam. Mereka cenderung diarahkan kepada peranan individual sebagai aktivis masyarakat, sekalipun perasaan dan evaluasi mereka terhadap peranan yang demikian bisa saja bersifat menerima ataupun menolaknya. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hampir seluruh anggota masyarakat di negara itu memiliki kesadaran politik yang sudah tinggi.

Dapat dilihat dari ketiga klasifikasi tersebut, masyarakat kita yang multikulural dengan latar belakang pendidikan berbeda bisa saja masuk ke dalam ketiga klasifikasi tersebut. Selain itu dilihat juga dari latar belakang sejarah bangsa ini sebelum merdekan dimana budaya politik yang dianut oleh masyarakat kita adalah budaya parokial, yang kemudaian orientasi partisapatif mulai masuk ke dalam percaturan politik Indonesia setelah masa penjajahan dengan adanya Indische Partij yang merupakan cikal-bakal partai di Indonesia dan merupakan bukti pertama bahwa individu diluar jajaran pemerintah dapat terjun ke dalam ranah politik. Dapat dipastikan kalau penambahan orientasi partisipatif ke dalam orientasi subjek dan parokial tidak akan otomatis menanggalkan orientasi atau aturan mengenai tata cara berpolitik terdahulu. Orientasi parokial ini harus segera menyesuaikan diri jika orientasi baru yang lebih khusus masuk ke dalam gambaran, sama halnya seperti perubahan orientasi parokial dan subjek ketika orientasi partisipatif telah diperoleh.

Jika masyarakat dari orientasi parokial sudah menerima substansi dari orientasi partisipatif maka peranan warga negara, dalam arti tertentu, menggambarkan bentuk tertinggi dalam partisipasi demokrasi (yang sudah tentu bukan merupakan sistem asli bangsa ini). Karena partisipasi yang demikian itulah maka orang-orang yang tadinya awam terhadap politik bisa mendapatkan pengaruh yang meliputi berbagai urusan pemerintahan. Tetapi seseorang tidak ikut ambil bagian dalam kehidupan politik jika hanya berperan sebagai warga negara. Mereka masih berada dalam hubungan subjek dengan pemerintah walaupun mereka telah meneriman peranan warga negara, meski boleh turut serta dalam proses pembuatan undang-undang, mereka tetap sebagai subjek hukum. Ditengah-tengah dinamika masyarakat, kesmpatan bagi individu untuk menerima perana warga negara mungkin terbatas, tetapi di semua masyarakat dengan berbagai bentuk sistem politik yang dikhususkan, individu-individu adalah merupakan subjek politik.

Lalu bagaimana budaya politik yang berkembang di masyarakat Indonesia yang nitabena multikultural, tiap-tiap daerah memiliki cara pandang dan paradigma yang berbeda menganai kepemimpina dan cara berpolitik masing-masing masyarakatnya. Pada budaya Jawa dikenal pepatah lama yang berbunyi “girilusi jalmo tan keno ing ngino” yang sebenarnya arinya sangat sederhana, yaitu “diatas langit masih ada langit” bisa dikatakan kalau pepatah tersebut bermaksud menasehati siapa saja yang hidup di dunia ini. Juga bisa diartikan seorang presiden yang kedudukannya sebagai pemimpin negara, tetapi masih membutuhkan masyarakat untuk membantu walaupun secara tidak langsung. Selain dari budaya Jawa, terdapat juga pepatah politik yang berasal dari budaya Minang yaitu”Bulek aia kapambuluah, bulek kato jo mufakat” yang dapat diartikan sebagai “musyawarah untuk mufakat perlu dilaksanakan oleh setiap yang disebut pemimpin dalam hal-hal yang patut dimusyawarahkan”. Sesuai dengan adat Minang yang mendahulukan musyawarah untuk mufakat dan sesuai dengan paham pemikiran demokratis, secara sederhana dapat diasumsikan ada beberapa persamaan dengan budaya politik lokal dengan budaya politik yang datang dari luar. Budaya-budaya dan pemahaman lokal arif mengenai kepemimpinan dan pembagian kekuasaan patut dipertahankan dan dilestarikan, dimana kebudayaan lokal sudah memiliki perhatian yang khusus tentang partisipasi politik para anggotanya. Lantas baimana dengan budaya politik yang datang dari pemikiran luar seperti budaya demokrasi atau pembagia kekuasaan yang datang dari pemikiran Montesquieu, paham-paham tersebut ada baiknya juga dipertahankan dan di-asimilasikan dengan kearifan lokal yang ada demi kepentinga bersama dimana rakyat sebagai subjek dapat turut berperan secara aktif dalam percaturan politik suatu negara






sumber-sumber:
1) Gabriel A. Almond. Comparative Political System, Journal of Politics, vol xviii, 1956; Talcott Parsons and Edward A. Shils, Toward a General Theory of Action Cambridge, mass, 1951, hal. 53 ff.

2) Haryanto. Sistem Politik: Suatu Pengantar. (Yogyakarta, 1982), hal. 9.

3) Gabriel A. Almond and Coleman. Politics of the Developing aseas, hal. 254.

4) Gabriel A. Almond dan Sidney Verba. Budaya Politik; Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara, terj. Sahat Simamora (Jakarta, 1990), hal. 21.

5) Gabriel A. Almond dan Sidney Verba. Budaya Politik; Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara, terj. Sahat Simamora (Jakarta, 1990), hal. 209.

6) Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. (Jakarta, 2008), hal. 111-113.

Minggu, 17 Januari 2010

Hachiko tetap menunggu di depan stasiun





yaa, kira-kira 2 minggu lalu gw nonton Sherlock Holmes dan liat trailer tentang film baru judulnya jelas “Hachiko”, yang menarik ini kalo film itu “based on true story” yang sedikit disesuaikan dengan tema film yang diperankan oleh Richard Gere itu. Film ini dari kisah nyata yang terjadi di Jepang, kisang kesetiaan seekor anjing kepada majikannya, silakan dilokit dah.
Stasiun Kereta Api Shibuya termasuk yang terbesar di kota metropolitan Tokyo, Cuma Tokyo Central dan Shinjuku Station yang mengunggulinya. Keluar dari Stasiun Shibuya ada jalan yang bernama “Hachiko Crossing” dan ada sebuah taman dengan petung anjing berwarna hitam, ga begitu diketahui apakah Hachiko Crossing itu terminal bus, taman, atau tempat parkir. yang jelas letaknya tepat di Stasiun Shibuya. Hachiko adalah seekor anjing ras asli jepang namanya Hachi, Ko adalah endearment. Yaa kira-kira sama seperti tje pada Jantje atau Marietje.
Entah berapa puluh tahun lalu Hachiko hidup, kira-kira tahun 1982, anjing gelandangan itu kurus dan tidak terurus. Sampai seorang tua menaruh belas kasihan kepadanya dan merawatnya sampai sehat kembali. Sejak itu anjing yang diberi nama Hachi itu, selalu mengikuti majikannya kemana-mana. Sebagaimana kebiasaan orang jepang, yang tidak begitu kaya, majikan Hachiko tinggal di kampung dan harus jalan kaki setiap hari ke Stasiun Shibuya untuk naik kereta api ke tempat kerjanya. Sebelum masuk ke gedung stasiun, ia menyuruh Hachiko, yang mengantarnya, pulang ke rumah. Anjing itu pulang sendiri dan sebelum pukul 17.00 sudah menunggu di tempat akan keluarnya majikan dari depan stasiun kereta api. Begitu selama bertahun-tahun Hachiko melakukannya.
Suatu hari, majikannya meninggal dunia saat berada di tempat kerja. Tetapi nalurinya membawa Hachiko tetap pergi ke stasiun untuk menjemput majikannya yang tidak kunjung pulang. Dengan setianya setiap hari dia pergi ke Stasiun Shibuya dan kembali pulang dengan merintih sedih karena majikannya tidak datang. Stasiun semakin sepi. Hachiko masih menunggu di situ. Untuk menghangatkan badannya dia meringkuk di pojokan salah satu ruang tunggu. Sambil sesekali melompat menuju balkon setiap kali ada kereta datang, mengharap tuannya ada di antara para penumpang yang datang. Tapi selalu saja ia harus kecewa, karena majikannya tidak pernah datang. Bahkan hingga esoknya, dua hari kemudian , dan berhari-hari berikutnya dia tidak pernah datang. Namun Hachiko tetap menunggu dan menunggu di stasiun itu, mengharap tuannya kembali. Tubuhnya pun mulai menjadi kurus. Sampai orang-orang yang selalu beraktifitas di sekitar stasiun menaruh perhatian pada Hachiko, semakin banyak yang memperhatikan anjing itu, makin hari ia makin jadi pembicaraan sehari-hari. Namun, apa yang dapat mereka lakukan? Bagaimana keluarga majikannya memberitahu Hachiko bahwa majikannya telah meninggal? Berita ini sampai diulas di koran, dan semua yang membacanya menaruh sayang kepada anjing itu. Selama 9 tahun lebih, dia muncul di stasiun setiap harinya pada pukul 3 sore, saat dimana dia biasa menunggu kepulangan tuannya. Namun hari-hari itu adalah saat dirinya tersiksa karena tuannya tidak kunjung tiba. Dan di suatu pagi, seorang petugas kebersihan stasiun tergopoh-gopoh melapor kepada pegawai keamanan. Sejenak kemudian suasana menjadi ramai. Pegawai itu menemukan tubuh seekor anjing yang sudah kaku meringkuk di pojokan ruang tunggu. anjing itu sudah menjadi mayat. Hachiko sudah mati. Kesetiaannya kepada sang tuannya pun terbawa sampai mati. Hachiko tetap menunggu majikannya yang tidak kunjung datang dan tidak akan pernah datang sampai Hachiko meninggal. Semua orang yang menyayanginya mengumpulkan uang dan walikota menyediakan taman dekat stasiun, untuk memperingati namanya. Sebuah patung, yang dibuat oleh seorang pemahat secara sukarela, dibuat dari batu hitam, diletakkan pada suatu tonggak setinggi manusia. Supaya orang-orang yang berada di dekat situ dapat mendekatinya dan meraba kakinya, atau moncongnya.
Hachiko merupakan lambang kesetiaan bagi seekor anjing, tetapi juga sebagai teladan bagi manusia. Sampai sekarang Hachiko Crossing sering dijadikan tempat untuk membuat pertemuan, karena masyarakat disana berharap ada kesetiaan yang dicontohkan oleh Hachiko saat mereka harus menunggu maupun janji untuk datang. Akhirnya patung Hachiko pun dijadikan simbol kesetiaan yang tulus dan dibawa sampai mati.






ini gambar asli dari Hachiko