Minggu, 28 Februari 2010

Budaya Politik Masyarakat Jawa dan Implikasinya dalam Percaturan Politik Indonesia

Oleh: I Nyoman Indra Kresna Wijaya, 0906526355

Manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial senantiasa melakukan interaksi dengan manusia lain dalam usaha untuk memujudkan kebutuhan hidupnya. Namun kebutuhan tersebut bukan hanya yang bersifat dasar seperti pemenuhan sandang, pangan dan papan juga biologis. Lebih dari itu, manusia juga membutuhkan pengakuan eksistensi atau pemberian penghargaan dari orang lain dalam bentuk pujian, upah kerja, status dalam kedudukan politis dan sebagainya. Kehidupan politik yang bagian dari keseharian dalam interaksi antar warga negara dengan pemerintah yang berkuasa, baik institusi formal maupun non-formal dapat membentuk suatu pendapat dan paradigma tentang praktik-praktik berperilaku secara politik dalam suatu sistem politik. Lewat kehidupan politik dan praktik-praktik tersebut, kita bisa melihat dan mengukur pengetahuan-pengetahuan, paradigma, perasaan serta sikap warga negara terhadap negaranya, pemerintahnya, pimpinan dalam partai politik dan lain-lain. Namun pertanyaannya adalah bagaimana manusia dapat menjadi teratur dalam melaksanakan kegiatan politik? seperti yang sudah diketahui bahwa manusia bukanlah makhluk yang Altruis dan manusia dapat melakukan apa saja demi mendapat kekuasaan dan nilai-nilai dominan dalam masyarakat, atau yang seperti dikatakan filsuf Prancis, Montesquieu bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lain (Homo Homini Lupus). Hal semacam ini yang menciptakan kekhawatiran terhadap pelaksanaan kegiatan politik di masyarakat. Bagaimana kestabilan tetap terjaga dan tidak ada hal yang terjadi diluar tatanan moral dilakukan dengan alasan politis.
Salah satunya adalah menciptakan stabilitas dalam politik adalah dengan budaya politik. Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan para elitenya. Seperti yang terjadi di Indonesia, kebudayaan Indonesia cenderung membagi secara tajam antara kelompok elite dan kelompok massa.
Budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam sikapnya dan bagian terhadap peranan warga dalam sistem itu. Dengan kata lain, bagimana distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat dan negara tersebut. Lebih jauh mereka menyatakan, bahwa warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki. Dengan orientasi itu pula mereka menilai serta mempertanyakan tempat dan peranan mereka di dalam sistem politik. Istilah budaya politik mulai dikenal sejak adanya aliran perilaku (Behavioralisme), namun istilah ini masih menjadi kontroversial karena konsep utamanya kurang jelas, dan dikritik dengan dengan menyebutkan bahwa penggabungan dua konsep budaya dan politik saja sudah mengandung kebingungan apalagi jika dijadikan konsep untuk menjelaskan fenomena politik.
Berikut ini adalah beberapa pengertian budaya politik yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk lebih memahami secara teoritis sebagai berikut : Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, tahayul, dan mitos. Kesemuanya dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberikan rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain. Selain itu, budaya politik dapat dilihat dari aspek doktrin dan aspek generiknya. Yang pertama menekankan pada isi atau materi, seperti sosialisme, demokrasi, atau nasionalisme. Yang kedua (aspek generik) menganalisis bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik, seperti militan, utopis, terbuka, atau tertutup. Hakikat dan ciri budaya politik yang menyangkut masalah nilai-nilai adalah prinsip dasar yang melandasi suatu pandangan hidup yang berhubungan dengan masalah tujuan. Bentuk budaya politik menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan (konformitas atau mendorong inisiatif kebebasan), sikap terhadap mobilitas (mempertahankan status quo atau men¬dorong mobilitas), prioritas kebijakan (menekankan ekonomi atau politik).
Dengan pengertian budaya politik di atas, nampaknya membawa kita pada suatu pemahaman konsep yang memadukan dua tingkat orientasi politik, yaitu sistem dan individu. Dengan orientasi yang bersifat individual ini, tidaklah berarti bahwa dalam memandang sistem politiknya kita menganggap masyarakat akan cenderung bergerak ke arah individualisme. Jauh dari anggapan yang demikian, pandangan ini melihat aspek individu dalam orientasi politik hanya sebagai pengakuan akan adanya fenomena dalam masyarakat secara keseluruhan tidak dapat melepaskan diri dari orientasi individual. Seorang tokoh politik juga menyatakan bahwa budaya politik dapat didefinisikan dalam dua cara. Pertama, jika terkonsentrasi pada individu, budaya politik merupakan fokus psikologis. Artinya bagaimana cara-cara seseorang melihat sistem politik. Apa yang dia rasakan dan ia pikir tentang simbol, lembaga dan aturan yang ada dalam tatanan politik dan bagaimana pula ia meresponnya. Kedua, budaya politik merujuk pada orientasi kolektif rakyat terhadap elemen-elemen dasar dalam sistem politiknya, dan inilah yang disebut “pendekatan sistem”.
Lalu bagaimana dengan budaya politik masyarakat Jawa di Indonesia? Masalah politik dalam budaya Jawa harus ditelusuri kembali konsep kekuasaan yang berlaku. Kita harus dapat memahami cara berpikir, paradigma umum yang berlaku, cara bersikap dan bertindak “orang Jawa”. Orang Jawa dikenal memiliki cara berpikir yang berjenjang, yaitu: nalar, manah dan menggalih. Dengan nalar kita mendapatkan argumentasi, alasan, wawasan, penjelasan dan analisis (lebih ke arah metode berpikir deduktif). Manah berkaitan dengan hal-hal yang dijadikan dasar masalah, yakni bagaimana menuju sasaran yang tepat dalam memecahkan masalah. Sedangkan berpikir Menggalih bersifat integralistis, komprehensif, multidisipliner dan multidimensional untuk dapat mencapai sebuah esensi (tentu pengertian “esensi” disini berbeda dengan pengertian “esensi” pada filsafat eksistensialisme, namun lebih ke arah “esensi” humanisme).
Berdasarkan pola pikir khas Jawa yang berjenjang tersebut maka kekuasaan harus jatuh pada sosok Satriya yang dikenal sebagai pemimpin yang merakyat atau Panakawan. Dalam mitos Jawa, Panakawan digambarkan dengan tokoh Semar, Gareng, Petruk, Bagong. Semar atau Sabdopalon Noyogenggong merupakan pengejewantahan wahyu Tuhan (Sabdo) dan bertugas ngemong para raja dan memberi nasihat bagi para raja. Para tokoh Panakawan ini digambarkan dengan dandanan seperti rakyat jelata (tokoh Semar dan Petruk yang membawa semacam arit, menyimbolkan mereka adalah petani) namun mengerti apa yang harus dilakukan atau kebijakan apa yang harus dikeluarkan oleh raja agar dapat mencakup seluruh kepentingan rakyat banyak, tidak hanya elit tertentu. Dalam kosmologi Jawa juga dikenal dengan pembagian zaman atau pembagian kala (waktu), akan ada saat dimana terjadi bencana alam dan masalah-masalah sosial seperti banjir, kekeringan, gunung meletus, tindak kriminal, ketidakadilan yang akan terjadi pada masa Kalabendhu, ini memiliki makna spiritualis bahwa kondisi-kondisi seperti itu tidak akan terjadi bila seorang raja masih memiliki kekuasaan. Artinya legitimasi kekuasaan yang mendukung konsep konsentrisitas akan hilang (koncatan wahyu) apabila raja tidak menggunakan kekuasaan bagi kesejahteraan dunia dan alam semesta.
Kekuasaan dalam konsep pemahaman Barat adalah gejala khas antarmanusia, yaitu: kemampuan untuk memaksakan kehendak pada orang lain agar melakukan tindakan-tindakan yang kita kehendaki, dalam pelaksanaan konsep ini dapat menjebak kita ke arah pandangan “tujuan menghalalkan segala cara” (teori Machiavelli). Pada paradigma Barat tentang kekuasaan ada empat ciri pokok, yaitu: 1. abstrak; 2. sumbernya heterogen; 3. pemupukannya tidak kenal batas; dan 4. secara moral ada yang baik dan ada yang buruk.
Menurut Benedict R.O.G. Anderson, kekuasaan menurut paham Jawa adalah segala kekuatan yang menyatakan diri dalam alam dan juga merupakan energi Tuhan tanpa bentuk yang selalu kreatif meresapi seluruh kosmos. Hipotesis Anderson menyatakan bahwa konsep kekuasaan Jawa mengandung tiga gejala kekuasaan yang dapat diamati dari perkembangan sejarah kerajaan-kerajaan Jawa khususnya Mataram. Pertama, kekuasaan itu konkret. Kekuasaan itu diturunkan oleh Kang Murbeng Dumadi atau Tuhan Yang Esa atas dasar “wahyu keprabon” kepada “wakilnya” di dunia ini. Dalam Babad Tanah Djawi; misalnya dikemukakan oleh pangeran Poeger bahwa raja sebagai penjelmaan Tuhan. Menurut Serat Centhini, dikatakan bahwa raja dalah wujud Tuhan yang terlihat. Selanjutnya menurut Wulangreh, raja adalah Kinarya wakil ing Hyang Agung (bertindak sebagai wakil Tuhan). Kekuasaan politik adalah ungkapan kesaktian atas dasar wahyu, walaupun penuh misteri, tetap konkret. Kedua, kekuasaan itu homogen, bersifat satu dan sama, karena jumlah kekuasaan dalam alam semesta selalu tetap. Menurut paham Jawa, kekuasaan merupakan ungakapan realitas yang sama, berasal dari sumber tunggal yang sama, berkualitas sama dan lebih dulu ada daripada hal lainnya, termasuk pengertian baik dan buruk. Paham ini berasal dari anggapan bahwa hakekat alam semesta itu tetap, tidak bertambah luas atau menyempit. Ketiga, kekuasaan tidak mempersoalkan dari mana ia berasal dan kemudian menyerap bebagai gumpalan kekuasaan baik kawan maupun lawan. Berbeda dengan pemikiran Barat yang bertolak dari asumsi apriori kultural, ternyata sejak zaman prasejarah dalam monotheisme kebudayaan Jawa pun sudah terdapat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang dikenal sebagai Sang Hyang Widhi, Sang Hyang Antaya dan sebagainya. Jika dilihat dari pandangan eksistensialisme menurut Kierkegaard, raja/pemimpin massa adalah individu yang telah mencapai tahapan kesadaran religius. Berbeda dengan rakyat yang dipimpin, hanya mencapai tahapan kesadaran statis. Hanya individu yang telah mencapai kesadaran religius yang dapat memimpin massa yang hanya mencapai kesadaran-kesadaran dibawah kesadaran religius tersebut (statis dan etis). Sedangkan menurut Nietzsche, raja adalah individu yang telah mencapai tingkatan Ubersmen/Super Human, manusia ini adalah manusia yang pantas menjadi pemimpin bagi massa yang lemah dan tidak berdaya, dengan jelas Nietzsche menolak ide demokrasi karena demokrasi hanya untuk bangsa atau sistem politik yang lemah saja dan demokrasi lebih konyol dari perkawinan sedarah, bagaimana mungkin suatu negara dapat mengambil keputusan dari banyak pikiran (rakyat), keputusan hanya boleh diputuskan oleh para raja dan pemimpin yang absolut. Ini sesuai dengan kosmologi Jawa yang menyatakan raja adalah representasi Tuhan di dunia dan menolak ide demokratisasi.
Lantas bagaimana konsep politik dalam pemahaman Jawa berperan dalam pembentukan karakter budaya politik bangsa Indonesia. Suku Jawa yang dapat dikatakan mendominasi jumlah polulasi di Indonesia, terlebih lagi pusat politik negara ini terdapat di Pulau Jawa dan entah bagaimana sejak pemimpin pertama bangsa Indonesia berasal dari keturunan Jawa. Pola umum perilaku masyarakat Jawa yang cenderung menghindarkan diri pada situasi konflik dan konsep dalam masyarakat Jawa yang membentuk pola “tindak-tanduk yang wajar” yang berupa pengekangan emosi dan pembatasan antusiasme diri serta ambisi. Beberapa ciri ini yang kemudian menjadi ciri berpolitik masyarakat Indonesia. Dari segi tatanan pemerintahan juga dapat dilihat sistem hierarki yang diturunkan dari konsep-konsep kekuasaan kerajaan-kerajaan Jawa, mulai dari raja yang berkuasa absolut (sampai era Soeharto) dan para pembantu-pembantu raja. Dalam konsep geopolitik dan geostrategi wilayah Nusantara adalah cikal-bakal wilayah Indonesia, berangkat dari Serat Pararaton, dalam Tan Amukti Palapa yang dikumandangkan Gajah Mada disebutkan dengan jelas wilayah-wilayah Nusantara dengan jelas. Dilihat dari perilaku birokrat, di Jawa masih secara kuat diwarnai oleh semangat aristrokratis, yang sebenarnya melekat pada kultur setempat dan pada tingkat tertentu malah mengutungkan organisasi. Karena, misalnya dengan semangat tersebut ketaatan para bawahan dibina, dan dengan semangat itu pula kewibawaan, pengaruh dan efektivitas kepemimpinan atasan dipelihara. Nilai kekuasaan tradisional cenderung terintegrasi dengan kepemimpinan formal, atau, kepemipinan formal hampir secara otomatis akan mendapat dukungan nilai tradisional dan hal ini dilakukan secara sadar. Dampak yang yang negatif adalah bahwa agak sulit bagi para bawahan (seperti abdhi dalem) untuk mengoreksi atasan yang melakukan kekeliruan, disamping juga sulit bagi bawahan untuk mengembangkan inovasinya. Akibat lain yang dapat dikatakan positif dari sikap dasar kepatuhan rakyat dan keinginan memelihara keamanan posisi para pejabat adalah ketaatan pada segala petunjuk pemerintah pusat.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa karena alam pikiran Jawa yang religius – sumber konsep kekuasaan dalam kebudayaan Jawa, segala sesuatunya kembali kepada Kang Murbeng Dumadi, Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini mempengaruhi konsep berpolitik bangsa Indonesia hingga kini, mulai dari Pancasila yang menjadi dasar negara, pada sila pertama disebutkan bahwa “keTuhanan Yang Maha Esa” sampai pola perpolitikan yang dipengaruhi oleh kerajaan-kerajaan besar seperti Majapahit dan Mataram. Diluar konteks Demokrasi dan sistem birokrasi dimana rakyat dan bawahan dapat berpengaruh pada pemerintahan, pada masyarakat Jawa pada masa kerajaan kekuasaan absolut ditangan raja dan rakyat tidak memiliki hak dan turut campur dalam perpolitikan, namun raja pada masa itu benar-benar bertanggung jawab sepenuhya kepada rakyat. Hingga kini pola pikir masyarakat Indonesia masih terpengaruh pola pikir masyarakat Jawa dimana Pulau Jawa seolah-olah menjadi pusat kekuatan politik Indonesia.




sumber-sumber:
Alfian & Nazaruddin Sjamsuddin. Profil Budaya Politik Indonesia. Jakarta: PT. Temprint, 1991
Almond, Gabriel A. & Sidney Verba. Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara. Princeton, NJ: Princeton University Press, 1963.
Budiardjo, Miriam: Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Kebudayaan Politik dan Aplikasi Budaya Lokal yang Patut diterapkan pada Sistem Politik Indonesia

Oleh: I Nyoman Indra Kresna Wijaya, 0906526355


Kebudayaan politik secara garis besar mengacu pada orientasi politik sikap terhadap sistem politik dan bagian-bagiannya yang lain serta sikap terhadap peranan kita sendiri dalam sistem tersebut. Sistem politik seperti yang di-internalisasikan kedalam kesadaran, perasaan, dan evaluasi penduduknya. Orang atau individu diberikan jabatan politik sama seperti mereka disosialisasikan kedalam peran non-politis dan sistem sosial. Berbagai konflik kebudayaan politik mengandung banyak persamaan dengan konflik kebudayaan lainnya (seperti kebudayaan ekonomi atau religius), dan proses-proses akulturasi politik lebih dapat dimengerti jika kita memandangnya dari sudut resistansi dan tendensi perubahan fungsional dan inkorporatif kebudayaan pada umumnya.
Oleh karena itu, konsep kebudayaan politik dapat membantu kita untuk menghindarkan diri dari pelebaran istilah seperti yang terdapat dalam terminologi umum antropologi sebagai etos kultural dan dari asumsi homogenitas yang diterapkan dalam konsep tertentu, konsep kebudayaan ini juga memungkinkan kita untuk merumuskan hipotesa tentang hubungan-hubungan antara komponen dari kebudayaan yang berbeda dan menguji hipotesa ini secara empiris. Dengan konsep sosialisasi politik maka dapat dimungkinkan keluar dari jebakan-jebakan asumsi paradigma multikultural yang sangat sederhana dan yang berkaitan dengan masalah hubungan antara pola-pola umum pertumbuhan perilaku politik dalam masyarakat.
Kebudayaan politik suatu bangsa merupakan distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa tersebut, cara yang sistematis dari orientasi individual terhadap objek-objek politik. Berdasarkan klasifikasi mengenai tipe-tipe orientasi politik yang mengikuti klasifikasi Parsons dan Shils, seperti yang menjadi konsensus dimana-mana, orientasi itu mengacu pada aspek-aspek dan objek yang disetujui serta hubungan antar keduanya, termasuk pada:
1. Orientasi Kognitif: pengetahuan dan kepercayaan tentang politik, peranan dan segala kewajibannya, serta input dan outputnya.
2. Orientasi Afektif: perasaan terhadap sistem politik; peranannya, para aktor politk dan penampilannya.
3. Orientasi Evaluatif: keputusan dan pendapat tentang objek-objek politik yang melibatkan pihak-pihak yang berpolitik dari seluruh rangkaian proses tersebut.


Maka secara sistematis dapat diperhatikan hal-hal yang dijelaskan diatas sebagai berikut:
1. Pengetahuan apa yang dimiliki seseorang tentang negara dan sistem politiknya dalam pengertian umum, seperti sejarah, ukuran lokasi (geopolitik), kekuasaan, sifat-sifat konstitualnya dan lain-lain.
2. Bagaimana pemahaman seseorang tentang struktur dan peranan kaum elit politik dan pengajuan-pengajuan kebijaksanaan yang diperkenalkan kedalam arus pembuatan kebijakan-kebijakan yang bersifat memajukan.
3. Bagaimana pemahaman yang dimiliki tentang arus pengokohan kebijaksanaan yang dapat meruntuhkan, struktur-struktur, individu-individu beserta keputusan yang terlibatkan dalam seluruh rangkaian proses politik.
Mencirikan kebudayaan politik suatu bangsa berarti harus mengisi sampel penduduk negara tersebut secara valid ke dalam suatu matriks. Kebudayaan politik menjelma menjadi frekuensi berbagai jenis orientasi kognitif, afektif dan evaluatif terhadap sistem politik secara umum, aspek-aspek input dan outputnya serta sejumlah pandangan pribadi sebagai aktor politik. Dari pembagian sampel tersebut, maka dapat dilihat pembagian masyarakat berdasarkan pengetian mengenai kebudayaan politik, secara garis besar dibagi menjadi tiga:
1. Kebudayaan Politik Parokial. Dalam sebuah masyarakat ini tidak ada peran-peran politik yang bersifat khusus, kepala suku atau “shamanship” atau dukun merupakan pelebaran dari peran-peran yang bersifat politis-ekonomis, keagamaan dan bagi anggota-anggota masyarakat ini orientasi politik terhadap peran-peran ini tidak terpisah dari orientasi religius dan sosial mereka (keadaan sosial yang dijalani terpengaruh besar dari paradigma religius masyarakat tersebut). Orientasi parokial juga menyatakan tidak adanya harapan-harapan akan perubahan yang komparatif, yang di-inisiasikan oleh sistem politik dengan kata lain, kaum parokial tidak mengharapkan apapun dari sistem politik. Secara relatif, parokialisme murni itu berlangsung dalam sistem tradisional yang lebih sederhana dimana spesialisasi politik berada di jenjang yang sangat minim, dan parokialisme dalam sistem politik yang diferensiasi labih bersifat afektif dan suku di Afrika dan komunitas lokal yang otonom. Artinya hampir semua bagian dari bangsa itu tidak peduli akan masalah-masalah politik yang terjadi.

2. Kebudayaan Politik Subjek. Frekuensi orientasi yang tinggi terhadap sistem politik yang terdiferensiatif dan aspek output dari sistem tersebut. Namun, frekuensi orientasi terhadap objek-objek input secara khusus dan terhadap pribadi sebagai partisipan yang aktif, mendekati nol. Para subjek menyadari akan otoritas pemerintah dan mereka secara efektif diarahkan terhadap otoritas tersebut. Mereka mungkin menunjukkan kebanggaan terhadap sistem tersebut atau mungkin tidak menyukainya dan mungkin juga mereka menilai sistem itu absah atau sebaliknya. Tapi hubungan terhadap sistem secara umum dan terhadap output dari sistem politik itu secara esensial merupakan hubungan yang bersifat pasif, walaupun ada bentuk kompetisi yang terbatas dan tersedia dalam kebudayaan mereka. Orientasi subjek dalam sistem politik yang telah mengembangkan pranata-pranata demokrasi lebih bersifat afektif dan normatif daripada kognitif. Karenanya golongan bangsawan Prancis sangat menyadari akan wujud institusi demokrasi. Dapat dikatakan bahwa sebagian dari anggota masyarakat itu sudah mulai memiliki kesadaran politik

3. Kebudayaan Politik Partisipan. Tipe kebudayaan politik ini adalah suatu bentuk dimana anggota-anggota masyarakat cenderung diorientasikan secara eksplisist terhadap sistem sebagai keseluruhan dan terhadap struktur dan proses politik serta administratif; dengan kata lain terhadap aspek input dan output dari sistem politik tersebut, anggota-anggota pemerintahan yang partisipatif dapat secara diarahkan kepada berbagai objek politik yang bermacam-macam. Mereka cenderung diarahkan kepada peranan individual sebagai aktivis masyarakat, sekalipun perasaan dan evaluasi mereka terhadap peranan yang demikian bisa saja bersifat menerima ataupun menolaknya. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hampir seluruh anggota masyarakat di negara itu memiliki kesadaran politik yang sudah tinggi.

Dapat dilihat dari ketiga klasifikasi tersebut, masyarakat kita yang multikulural dengan latar belakang pendidikan berbeda bisa saja masuk ke dalam ketiga klasifikasi tersebut. Selain itu dilihat juga dari latar belakang sejarah bangsa ini sebelum merdekan dimana budaya politik yang dianut oleh masyarakat kita adalah budaya parokial, yang kemudaian orientasi partisapatif mulai masuk ke dalam percaturan politik Indonesia setelah masa penjajahan dengan adanya Indische Partij yang merupakan cikal-bakal partai di Indonesia dan merupakan bukti pertama bahwa individu diluar jajaran pemerintah dapat terjun ke dalam ranah politik. Dapat dipastikan kalau penambahan orientasi partisipatif ke dalam orientasi subjek dan parokial tidak akan otomatis menanggalkan orientasi atau aturan mengenai tata cara berpolitik terdahulu. Orientasi parokial ini harus segera menyesuaikan diri jika orientasi baru yang lebih khusus masuk ke dalam gambaran, sama halnya seperti perubahan orientasi parokial dan subjek ketika orientasi partisipatif telah diperoleh.

Jika masyarakat dari orientasi parokial sudah menerima substansi dari orientasi partisipatif maka peranan warga negara, dalam arti tertentu, menggambarkan bentuk tertinggi dalam partisipasi demokrasi (yang sudah tentu bukan merupakan sistem asli bangsa ini). Karena partisipasi yang demikian itulah maka orang-orang yang tadinya awam terhadap politik bisa mendapatkan pengaruh yang meliputi berbagai urusan pemerintahan. Tetapi seseorang tidak ikut ambil bagian dalam kehidupan politik jika hanya berperan sebagai warga negara. Mereka masih berada dalam hubungan subjek dengan pemerintah walaupun mereka telah meneriman peranan warga negara, meski boleh turut serta dalam proses pembuatan undang-undang, mereka tetap sebagai subjek hukum. Ditengah-tengah dinamika masyarakat, kesmpatan bagi individu untuk menerima perana warga negara mungkin terbatas, tetapi di semua masyarakat dengan berbagai bentuk sistem politik yang dikhususkan, individu-individu adalah merupakan subjek politik.

Lalu bagaimana budaya politik yang berkembang di masyarakat Indonesia yang nitabena multikultural, tiap-tiap daerah memiliki cara pandang dan paradigma yang berbeda menganai kepemimpina dan cara berpolitik masing-masing masyarakatnya. Pada budaya Jawa dikenal pepatah lama yang berbunyi “girilusi jalmo tan keno ing ngino” yang sebenarnya arinya sangat sederhana, yaitu “diatas langit masih ada langit” bisa dikatakan kalau pepatah tersebut bermaksud menasehati siapa saja yang hidup di dunia ini. Juga bisa diartikan seorang presiden yang kedudukannya sebagai pemimpin negara, tetapi masih membutuhkan masyarakat untuk membantu walaupun secara tidak langsung. Selain dari budaya Jawa, terdapat juga pepatah politik yang berasal dari budaya Minang yaitu”Bulek aia kapambuluah, bulek kato jo mufakat” yang dapat diartikan sebagai “musyawarah untuk mufakat perlu dilaksanakan oleh setiap yang disebut pemimpin dalam hal-hal yang patut dimusyawarahkan”. Sesuai dengan adat Minang yang mendahulukan musyawarah untuk mufakat dan sesuai dengan paham pemikiran demokratis, secara sederhana dapat diasumsikan ada beberapa persamaan dengan budaya politik lokal dengan budaya politik yang datang dari luar. Budaya-budaya dan pemahaman lokal arif mengenai kepemimpinan dan pembagian kekuasaan patut dipertahankan dan dilestarikan, dimana kebudayaan lokal sudah memiliki perhatian yang khusus tentang partisipasi politik para anggotanya. Lantas baimana dengan budaya politik yang datang dari pemikiran luar seperti budaya demokrasi atau pembagia kekuasaan yang datang dari pemikiran Montesquieu, paham-paham tersebut ada baiknya juga dipertahankan dan di-asimilasikan dengan kearifan lokal yang ada demi kepentinga bersama dimana rakyat sebagai subjek dapat turut berperan secara aktif dalam percaturan politik suatu negara






sumber-sumber:
1) Gabriel A. Almond. Comparative Political System, Journal of Politics, vol xviii, 1956; Talcott Parsons and Edward A. Shils, Toward a General Theory of Action Cambridge, mass, 1951, hal. 53 ff.

2) Haryanto. Sistem Politik: Suatu Pengantar. (Yogyakarta, 1982), hal. 9.

3) Gabriel A. Almond and Coleman. Politics of the Developing aseas, hal. 254.

4) Gabriel A. Almond dan Sidney Verba. Budaya Politik; Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara, terj. Sahat Simamora (Jakarta, 1990), hal. 21.

5) Gabriel A. Almond dan Sidney Verba. Budaya Politik; Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara, terj. Sahat Simamora (Jakarta, 1990), hal. 209.

6) Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. (Jakarta, 2008), hal. 111-113.