Minggu, 28 Februari 2010

Kebudayaan Politik dan Aplikasi Budaya Lokal yang Patut diterapkan pada Sistem Politik Indonesia

Oleh: I Nyoman Indra Kresna Wijaya, 0906526355


Kebudayaan politik secara garis besar mengacu pada orientasi politik sikap terhadap sistem politik dan bagian-bagiannya yang lain serta sikap terhadap peranan kita sendiri dalam sistem tersebut. Sistem politik seperti yang di-internalisasikan kedalam kesadaran, perasaan, dan evaluasi penduduknya. Orang atau individu diberikan jabatan politik sama seperti mereka disosialisasikan kedalam peran non-politis dan sistem sosial. Berbagai konflik kebudayaan politik mengandung banyak persamaan dengan konflik kebudayaan lainnya (seperti kebudayaan ekonomi atau religius), dan proses-proses akulturasi politik lebih dapat dimengerti jika kita memandangnya dari sudut resistansi dan tendensi perubahan fungsional dan inkorporatif kebudayaan pada umumnya.
Oleh karena itu, konsep kebudayaan politik dapat membantu kita untuk menghindarkan diri dari pelebaran istilah seperti yang terdapat dalam terminologi umum antropologi sebagai etos kultural dan dari asumsi homogenitas yang diterapkan dalam konsep tertentu, konsep kebudayaan ini juga memungkinkan kita untuk merumuskan hipotesa tentang hubungan-hubungan antara komponen dari kebudayaan yang berbeda dan menguji hipotesa ini secara empiris. Dengan konsep sosialisasi politik maka dapat dimungkinkan keluar dari jebakan-jebakan asumsi paradigma multikultural yang sangat sederhana dan yang berkaitan dengan masalah hubungan antara pola-pola umum pertumbuhan perilaku politik dalam masyarakat.
Kebudayaan politik suatu bangsa merupakan distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa tersebut, cara yang sistematis dari orientasi individual terhadap objek-objek politik. Berdasarkan klasifikasi mengenai tipe-tipe orientasi politik yang mengikuti klasifikasi Parsons dan Shils, seperti yang menjadi konsensus dimana-mana, orientasi itu mengacu pada aspek-aspek dan objek yang disetujui serta hubungan antar keduanya, termasuk pada:
1. Orientasi Kognitif: pengetahuan dan kepercayaan tentang politik, peranan dan segala kewajibannya, serta input dan outputnya.
2. Orientasi Afektif: perasaan terhadap sistem politik; peranannya, para aktor politk dan penampilannya.
3. Orientasi Evaluatif: keputusan dan pendapat tentang objek-objek politik yang melibatkan pihak-pihak yang berpolitik dari seluruh rangkaian proses tersebut.


Maka secara sistematis dapat diperhatikan hal-hal yang dijelaskan diatas sebagai berikut:
1. Pengetahuan apa yang dimiliki seseorang tentang negara dan sistem politiknya dalam pengertian umum, seperti sejarah, ukuran lokasi (geopolitik), kekuasaan, sifat-sifat konstitualnya dan lain-lain.
2. Bagaimana pemahaman seseorang tentang struktur dan peranan kaum elit politik dan pengajuan-pengajuan kebijaksanaan yang diperkenalkan kedalam arus pembuatan kebijakan-kebijakan yang bersifat memajukan.
3. Bagaimana pemahaman yang dimiliki tentang arus pengokohan kebijaksanaan yang dapat meruntuhkan, struktur-struktur, individu-individu beserta keputusan yang terlibatkan dalam seluruh rangkaian proses politik.
Mencirikan kebudayaan politik suatu bangsa berarti harus mengisi sampel penduduk negara tersebut secara valid ke dalam suatu matriks. Kebudayaan politik menjelma menjadi frekuensi berbagai jenis orientasi kognitif, afektif dan evaluatif terhadap sistem politik secara umum, aspek-aspek input dan outputnya serta sejumlah pandangan pribadi sebagai aktor politik. Dari pembagian sampel tersebut, maka dapat dilihat pembagian masyarakat berdasarkan pengetian mengenai kebudayaan politik, secara garis besar dibagi menjadi tiga:
1. Kebudayaan Politik Parokial. Dalam sebuah masyarakat ini tidak ada peran-peran politik yang bersifat khusus, kepala suku atau “shamanship” atau dukun merupakan pelebaran dari peran-peran yang bersifat politis-ekonomis, keagamaan dan bagi anggota-anggota masyarakat ini orientasi politik terhadap peran-peran ini tidak terpisah dari orientasi religius dan sosial mereka (keadaan sosial yang dijalani terpengaruh besar dari paradigma religius masyarakat tersebut). Orientasi parokial juga menyatakan tidak adanya harapan-harapan akan perubahan yang komparatif, yang di-inisiasikan oleh sistem politik dengan kata lain, kaum parokial tidak mengharapkan apapun dari sistem politik. Secara relatif, parokialisme murni itu berlangsung dalam sistem tradisional yang lebih sederhana dimana spesialisasi politik berada di jenjang yang sangat minim, dan parokialisme dalam sistem politik yang diferensiasi labih bersifat afektif dan suku di Afrika dan komunitas lokal yang otonom. Artinya hampir semua bagian dari bangsa itu tidak peduli akan masalah-masalah politik yang terjadi.

2. Kebudayaan Politik Subjek. Frekuensi orientasi yang tinggi terhadap sistem politik yang terdiferensiatif dan aspek output dari sistem tersebut. Namun, frekuensi orientasi terhadap objek-objek input secara khusus dan terhadap pribadi sebagai partisipan yang aktif, mendekati nol. Para subjek menyadari akan otoritas pemerintah dan mereka secara efektif diarahkan terhadap otoritas tersebut. Mereka mungkin menunjukkan kebanggaan terhadap sistem tersebut atau mungkin tidak menyukainya dan mungkin juga mereka menilai sistem itu absah atau sebaliknya. Tapi hubungan terhadap sistem secara umum dan terhadap output dari sistem politik itu secara esensial merupakan hubungan yang bersifat pasif, walaupun ada bentuk kompetisi yang terbatas dan tersedia dalam kebudayaan mereka. Orientasi subjek dalam sistem politik yang telah mengembangkan pranata-pranata demokrasi lebih bersifat afektif dan normatif daripada kognitif. Karenanya golongan bangsawan Prancis sangat menyadari akan wujud institusi demokrasi. Dapat dikatakan bahwa sebagian dari anggota masyarakat itu sudah mulai memiliki kesadaran politik

3. Kebudayaan Politik Partisipan. Tipe kebudayaan politik ini adalah suatu bentuk dimana anggota-anggota masyarakat cenderung diorientasikan secara eksplisist terhadap sistem sebagai keseluruhan dan terhadap struktur dan proses politik serta administratif; dengan kata lain terhadap aspek input dan output dari sistem politik tersebut, anggota-anggota pemerintahan yang partisipatif dapat secara diarahkan kepada berbagai objek politik yang bermacam-macam. Mereka cenderung diarahkan kepada peranan individual sebagai aktivis masyarakat, sekalipun perasaan dan evaluasi mereka terhadap peranan yang demikian bisa saja bersifat menerima ataupun menolaknya. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hampir seluruh anggota masyarakat di negara itu memiliki kesadaran politik yang sudah tinggi.

Dapat dilihat dari ketiga klasifikasi tersebut, masyarakat kita yang multikulural dengan latar belakang pendidikan berbeda bisa saja masuk ke dalam ketiga klasifikasi tersebut. Selain itu dilihat juga dari latar belakang sejarah bangsa ini sebelum merdekan dimana budaya politik yang dianut oleh masyarakat kita adalah budaya parokial, yang kemudaian orientasi partisapatif mulai masuk ke dalam percaturan politik Indonesia setelah masa penjajahan dengan adanya Indische Partij yang merupakan cikal-bakal partai di Indonesia dan merupakan bukti pertama bahwa individu diluar jajaran pemerintah dapat terjun ke dalam ranah politik. Dapat dipastikan kalau penambahan orientasi partisipatif ke dalam orientasi subjek dan parokial tidak akan otomatis menanggalkan orientasi atau aturan mengenai tata cara berpolitik terdahulu. Orientasi parokial ini harus segera menyesuaikan diri jika orientasi baru yang lebih khusus masuk ke dalam gambaran, sama halnya seperti perubahan orientasi parokial dan subjek ketika orientasi partisipatif telah diperoleh.

Jika masyarakat dari orientasi parokial sudah menerima substansi dari orientasi partisipatif maka peranan warga negara, dalam arti tertentu, menggambarkan bentuk tertinggi dalam partisipasi demokrasi (yang sudah tentu bukan merupakan sistem asli bangsa ini). Karena partisipasi yang demikian itulah maka orang-orang yang tadinya awam terhadap politik bisa mendapatkan pengaruh yang meliputi berbagai urusan pemerintahan. Tetapi seseorang tidak ikut ambil bagian dalam kehidupan politik jika hanya berperan sebagai warga negara. Mereka masih berada dalam hubungan subjek dengan pemerintah walaupun mereka telah meneriman peranan warga negara, meski boleh turut serta dalam proses pembuatan undang-undang, mereka tetap sebagai subjek hukum. Ditengah-tengah dinamika masyarakat, kesmpatan bagi individu untuk menerima perana warga negara mungkin terbatas, tetapi di semua masyarakat dengan berbagai bentuk sistem politik yang dikhususkan, individu-individu adalah merupakan subjek politik.

Lalu bagaimana budaya politik yang berkembang di masyarakat Indonesia yang nitabena multikultural, tiap-tiap daerah memiliki cara pandang dan paradigma yang berbeda menganai kepemimpina dan cara berpolitik masing-masing masyarakatnya. Pada budaya Jawa dikenal pepatah lama yang berbunyi “girilusi jalmo tan keno ing ngino” yang sebenarnya arinya sangat sederhana, yaitu “diatas langit masih ada langit” bisa dikatakan kalau pepatah tersebut bermaksud menasehati siapa saja yang hidup di dunia ini. Juga bisa diartikan seorang presiden yang kedudukannya sebagai pemimpin negara, tetapi masih membutuhkan masyarakat untuk membantu walaupun secara tidak langsung. Selain dari budaya Jawa, terdapat juga pepatah politik yang berasal dari budaya Minang yaitu”Bulek aia kapambuluah, bulek kato jo mufakat” yang dapat diartikan sebagai “musyawarah untuk mufakat perlu dilaksanakan oleh setiap yang disebut pemimpin dalam hal-hal yang patut dimusyawarahkan”. Sesuai dengan adat Minang yang mendahulukan musyawarah untuk mufakat dan sesuai dengan paham pemikiran demokratis, secara sederhana dapat diasumsikan ada beberapa persamaan dengan budaya politik lokal dengan budaya politik yang datang dari luar. Budaya-budaya dan pemahaman lokal arif mengenai kepemimpinan dan pembagian kekuasaan patut dipertahankan dan dilestarikan, dimana kebudayaan lokal sudah memiliki perhatian yang khusus tentang partisipasi politik para anggotanya. Lantas baimana dengan budaya politik yang datang dari pemikiran luar seperti budaya demokrasi atau pembagia kekuasaan yang datang dari pemikiran Montesquieu, paham-paham tersebut ada baiknya juga dipertahankan dan di-asimilasikan dengan kearifan lokal yang ada demi kepentinga bersama dimana rakyat sebagai subjek dapat turut berperan secara aktif dalam percaturan politik suatu negara






sumber-sumber:
1) Gabriel A. Almond. Comparative Political System, Journal of Politics, vol xviii, 1956; Talcott Parsons and Edward A. Shils, Toward a General Theory of Action Cambridge, mass, 1951, hal. 53 ff.

2) Haryanto. Sistem Politik: Suatu Pengantar. (Yogyakarta, 1982), hal. 9.

3) Gabriel A. Almond and Coleman. Politics of the Developing aseas, hal. 254.

4) Gabriel A. Almond dan Sidney Verba. Budaya Politik; Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara, terj. Sahat Simamora (Jakarta, 1990), hal. 21.

5) Gabriel A. Almond dan Sidney Verba. Budaya Politik; Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara, terj. Sahat Simamora (Jakarta, 1990), hal. 209.

6) Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. (Jakarta, 2008), hal. 111-113.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar