Minggu, 28 Februari 2010

Budaya Politik Masyarakat Jawa dan Implikasinya dalam Percaturan Politik Indonesia

Oleh: I Nyoman Indra Kresna Wijaya, 0906526355

Manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial senantiasa melakukan interaksi dengan manusia lain dalam usaha untuk memujudkan kebutuhan hidupnya. Namun kebutuhan tersebut bukan hanya yang bersifat dasar seperti pemenuhan sandang, pangan dan papan juga biologis. Lebih dari itu, manusia juga membutuhkan pengakuan eksistensi atau pemberian penghargaan dari orang lain dalam bentuk pujian, upah kerja, status dalam kedudukan politis dan sebagainya. Kehidupan politik yang bagian dari keseharian dalam interaksi antar warga negara dengan pemerintah yang berkuasa, baik institusi formal maupun non-formal dapat membentuk suatu pendapat dan paradigma tentang praktik-praktik berperilaku secara politik dalam suatu sistem politik. Lewat kehidupan politik dan praktik-praktik tersebut, kita bisa melihat dan mengukur pengetahuan-pengetahuan, paradigma, perasaan serta sikap warga negara terhadap negaranya, pemerintahnya, pimpinan dalam partai politik dan lain-lain. Namun pertanyaannya adalah bagaimana manusia dapat menjadi teratur dalam melaksanakan kegiatan politik? seperti yang sudah diketahui bahwa manusia bukanlah makhluk yang Altruis dan manusia dapat melakukan apa saja demi mendapat kekuasaan dan nilai-nilai dominan dalam masyarakat, atau yang seperti dikatakan filsuf Prancis, Montesquieu bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lain (Homo Homini Lupus). Hal semacam ini yang menciptakan kekhawatiran terhadap pelaksanaan kegiatan politik di masyarakat. Bagaimana kestabilan tetap terjaga dan tidak ada hal yang terjadi diluar tatanan moral dilakukan dengan alasan politis.
Salah satunya adalah menciptakan stabilitas dalam politik adalah dengan budaya politik. Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan para elitenya. Seperti yang terjadi di Indonesia, kebudayaan Indonesia cenderung membagi secara tajam antara kelompok elite dan kelompok massa.
Budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam sikapnya dan bagian terhadap peranan warga dalam sistem itu. Dengan kata lain, bagimana distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat dan negara tersebut. Lebih jauh mereka menyatakan, bahwa warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki. Dengan orientasi itu pula mereka menilai serta mempertanyakan tempat dan peranan mereka di dalam sistem politik. Istilah budaya politik mulai dikenal sejak adanya aliran perilaku (Behavioralisme), namun istilah ini masih menjadi kontroversial karena konsep utamanya kurang jelas, dan dikritik dengan dengan menyebutkan bahwa penggabungan dua konsep budaya dan politik saja sudah mengandung kebingungan apalagi jika dijadikan konsep untuk menjelaskan fenomena politik.
Berikut ini adalah beberapa pengertian budaya politik yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk lebih memahami secara teoritis sebagai berikut : Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, tahayul, dan mitos. Kesemuanya dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberikan rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain. Selain itu, budaya politik dapat dilihat dari aspek doktrin dan aspek generiknya. Yang pertama menekankan pada isi atau materi, seperti sosialisme, demokrasi, atau nasionalisme. Yang kedua (aspek generik) menganalisis bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik, seperti militan, utopis, terbuka, atau tertutup. Hakikat dan ciri budaya politik yang menyangkut masalah nilai-nilai adalah prinsip dasar yang melandasi suatu pandangan hidup yang berhubungan dengan masalah tujuan. Bentuk budaya politik menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan (konformitas atau mendorong inisiatif kebebasan), sikap terhadap mobilitas (mempertahankan status quo atau men¬dorong mobilitas), prioritas kebijakan (menekankan ekonomi atau politik).
Dengan pengertian budaya politik di atas, nampaknya membawa kita pada suatu pemahaman konsep yang memadukan dua tingkat orientasi politik, yaitu sistem dan individu. Dengan orientasi yang bersifat individual ini, tidaklah berarti bahwa dalam memandang sistem politiknya kita menganggap masyarakat akan cenderung bergerak ke arah individualisme. Jauh dari anggapan yang demikian, pandangan ini melihat aspek individu dalam orientasi politik hanya sebagai pengakuan akan adanya fenomena dalam masyarakat secara keseluruhan tidak dapat melepaskan diri dari orientasi individual. Seorang tokoh politik juga menyatakan bahwa budaya politik dapat didefinisikan dalam dua cara. Pertama, jika terkonsentrasi pada individu, budaya politik merupakan fokus psikologis. Artinya bagaimana cara-cara seseorang melihat sistem politik. Apa yang dia rasakan dan ia pikir tentang simbol, lembaga dan aturan yang ada dalam tatanan politik dan bagaimana pula ia meresponnya. Kedua, budaya politik merujuk pada orientasi kolektif rakyat terhadap elemen-elemen dasar dalam sistem politiknya, dan inilah yang disebut “pendekatan sistem”.
Lalu bagaimana dengan budaya politik masyarakat Jawa di Indonesia? Masalah politik dalam budaya Jawa harus ditelusuri kembali konsep kekuasaan yang berlaku. Kita harus dapat memahami cara berpikir, paradigma umum yang berlaku, cara bersikap dan bertindak “orang Jawa”. Orang Jawa dikenal memiliki cara berpikir yang berjenjang, yaitu: nalar, manah dan menggalih. Dengan nalar kita mendapatkan argumentasi, alasan, wawasan, penjelasan dan analisis (lebih ke arah metode berpikir deduktif). Manah berkaitan dengan hal-hal yang dijadikan dasar masalah, yakni bagaimana menuju sasaran yang tepat dalam memecahkan masalah. Sedangkan berpikir Menggalih bersifat integralistis, komprehensif, multidisipliner dan multidimensional untuk dapat mencapai sebuah esensi (tentu pengertian “esensi” disini berbeda dengan pengertian “esensi” pada filsafat eksistensialisme, namun lebih ke arah “esensi” humanisme).
Berdasarkan pola pikir khas Jawa yang berjenjang tersebut maka kekuasaan harus jatuh pada sosok Satriya yang dikenal sebagai pemimpin yang merakyat atau Panakawan. Dalam mitos Jawa, Panakawan digambarkan dengan tokoh Semar, Gareng, Petruk, Bagong. Semar atau Sabdopalon Noyogenggong merupakan pengejewantahan wahyu Tuhan (Sabdo) dan bertugas ngemong para raja dan memberi nasihat bagi para raja. Para tokoh Panakawan ini digambarkan dengan dandanan seperti rakyat jelata (tokoh Semar dan Petruk yang membawa semacam arit, menyimbolkan mereka adalah petani) namun mengerti apa yang harus dilakukan atau kebijakan apa yang harus dikeluarkan oleh raja agar dapat mencakup seluruh kepentingan rakyat banyak, tidak hanya elit tertentu. Dalam kosmologi Jawa juga dikenal dengan pembagian zaman atau pembagian kala (waktu), akan ada saat dimana terjadi bencana alam dan masalah-masalah sosial seperti banjir, kekeringan, gunung meletus, tindak kriminal, ketidakadilan yang akan terjadi pada masa Kalabendhu, ini memiliki makna spiritualis bahwa kondisi-kondisi seperti itu tidak akan terjadi bila seorang raja masih memiliki kekuasaan. Artinya legitimasi kekuasaan yang mendukung konsep konsentrisitas akan hilang (koncatan wahyu) apabila raja tidak menggunakan kekuasaan bagi kesejahteraan dunia dan alam semesta.
Kekuasaan dalam konsep pemahaman Barat adalah gejala khas antarmanusia, yaitu: kemampuan untuk memaksakan kehendak pada orang lain agar melakukan tindakan-tindakan yang kita kehendaki, dalam pelaksanaan konsep ini dapat menjebak kita ke arah pandangan “tujuan menghalalkan segala cara” (teori Machiavelli). Pada paradigma Barat tentang kekuasaan ada empat ciri pokok, yaitu: 1. abstrak; 2. sumbernya heterogen; 3. pemupukannya tidak kenal batas; dan 4. secara moral ada yang baik dan ada yang buruk.
Menurut Benedict R.O.G. Anderson, kekuasaan menurut paham Jawa adalah segala kekuatan yang menyatakan diri dalam alam dan juga merupakan energi Tuhan tanpa bentuk yang selalu kreatif meresapi seluruh kosmos. Hipotesis Anderson menyatakan bahwa konsep kekuasaan Jawa mengandung tiga gejala kekuasaan yang dapat diamati dari perkembangan sejarah kerajaan-kerajaan Jawa khususnya Mataram. Pertama, kekuasaan itu konkret. Kekuasaan itu diturunkan oleh Kang Murbeng Dumadi atau Tuhan Yang Esa atas dasar “wahyu keprabon” kepada “wakilnya” di dunia ini. Dalam Babad Tanah Djawi; misalnya dikemukakan oleh pangeran Poeger bahwa raja sebagai penjelmaan Tuhan. Menurut Serat Centhini, dikatakan bahwa raja dalah wujud Tuhan yang terlihat. Selanjutnya menurut Wulangreh, raja adalah Kinarya wakil ing Hyang Agung (bertindak sebagai wakil Tuhan). Kekuasaan politik adalah ungkapan kesaktian atas dasar wahyu, walaupun penuh misteri, tetap konkret. Kedua, kekuasaan itu homogen, bersifat satu dan sama, karena jumlah kekuasaan dalam alam semesta selalu tetap. Menurut paham Jawa, kekuasaan merupakan ungakapan realitas yang sama, berasal dari sumber tunggal yang sama, berkualitas sama dan lebih dulu ada daripada hal lainnya, termasuk pengertian baik dan buruk. Paham ini berasal dari anggapan bahwa hakekat alam semesta itu tetap, tidak bertambah luas atau menyempit. Ketiga, kekuasaan tidak mempersoalkan dari mana ia berasal dan kemudian menyerap bebagai gumpalan kekuasaan baik kawan maupun lawan. Berbeda dengan pemikiran Barat yang bertolak dari asumsi apriori kultural, ternyata sejak zaman prasejarah dalam monotheisme kebudayaan Jawa pun sudah terdapat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang dikenal sebagai Sang Hyang Widhi, Sang Hyang Antaya dan sebagainya. Jika dilihat dari pandangan eksistensialisme menurut Kierkegaard, raja/pemimpin massa adalah individu yang telah mencapai tahapan kesadaran religius. Berbeda dengan rakyat yang dipimpin, hanya mencapai tahapan kesadaran statis. Hanya individu yang telah mencapai kesadaran religius yang dapat memimpin massa yang hanya mencapai kesadaran-kesadaran dibawah kesadaran religius tersebut (statis dan etis). Sedangkan menurut Nietzsche, raja adalah individu yang telah mencapai tingkatan Ubersmen/Super Human, manusia ini adalah manusia yang pantas menjadi pemimpin bagi massa yang lemah dan tidak berdaya, dengan jelas Nietzsche menolak ide demokrasi karena demokrasi hanya untuk bangsa atau sistem politik yang lemah saja dan demokrasi lebih konyol dari perkawinan sedarah, bagaimana mungkin suatu negara dapat mengambil keputusan dari banyak pikiran (rakyat), keputusan hanya boleh diputuskan oleh para raja dan pemimpin yang absolut. Ini sesuai dengan kosmologi Jawa yang menyatakan raja adalah representasi Tuhan di dunia dan menolak ide demokratisasi.
Lantas bagaimana konsep politik dalam pemahaman Jawa berperan dalam pembentukan karakter budaya politik bangsa Indonesia. Suku Jawa yang dapat dikatakan mendominasi jumlah polulasi di Indonesia, terlebih lagi pusat politik negara ini terdapat di Pulau Jawa dan entah bagaimana sejak pemimpin pertama bangsa Indonesia berasal dari keturunan Jawa. Pola umum perilaku masyarakat Jawa yang cenderung menghindarkan diri pada situasi konflik dan konsep dalam masyarakat Jawa yang membentuk pola “tindak-tanduk yang wajar” yang berupa pengekangan emosi dan pembatasan antusiasme diri serta ambisi. Beberapa ciri ini yang kemudian menjadi ciri berpolitik masyarakat Indonesia. Dari segi tatanan pemerintahan juga dapat dilihat sistem hierarki yang diturunkan dari konsep-konsep kekuasaan kerajaan-kerajaan Jawa, mulai dari raja yang berkuasa absolut (sampai era Soeharto) dan para pembantu-pembantu raja. Dalam konsep geopolitik dan geostrategi wilayah Nusantara adalah cikal-bakal wilayah Indonesia, berangkat dari Serat Pararaton, dalam Tan Amukti Palapa yang dikumandangkan Gajah Mada disebutkan dengan jelas wilayah-wilayah Nusantara dengan jelas. Dilihat dari perilaku birokrat, di Jawa masih secara kuat diwarnai oleh semangat aristrokratis, yang sebenarnya melekat pada kultur setempat dan pada tingkat tertentu malah mengutungkan organisasi. Karena, misalnya dengan semangat tersebut ketaatan para bawahan dibina, dan dengan semangat itu pula kewibawaan, pengaruh dan efektivitas kepemimpinan atasan dipelihara. Nilai kekuasaan tradisional cenderung terintegrasi dengan kepemimpinan formal, atau, kepemipinan formal hampir secara otomatis akan mendapat dukungan nilai tradisional dan hal ini dilakukan secara sadar. Dampak yang yang negatif adalah bahwa agak sulit bagi para bawahan (seperti abdhi dalem) untuk mengoreksi atasan yang melakukan kekeliruan, disamping juga sulit bagi bawahan untuk mengembangkan inovasinya. Akibat lain yang dapat dikatakan positif dari sikap dasar kepatuhan rakyat dan keinginan memelihara keamanan posisi para pejabat adalah ketaatan pada segala petunjuk pemerintah pusat.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa karena alam pikiran Jawa yang religius – sumber konsep kekuasaan dalam kebudayaan Jawa, segala sesuatunya kembali kepada Kang Murbeng Dumadi, Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini mempengaruhi konsep berpolitik bangsa Indonesia hingga kini, mulai dari Pancasila yang menjadi dasar negara, pada sila pertama disebutkan bahwa “keTuhanan Yang Maha Esa” sampai pola perpolitikan yang dipengaruhi oleh kerajaan-kerajaan besar seperti Majapahit dan Mataram. Diluar konteks Demokrasi dan sistem birokrasi dimana rakyat dan bawahan dapat berpengaruh pada pemerintahan, pada masyarakat Jawa pada masa kerajaan kekuasaan absolut ditangan raja dan rakyat tidak memiliki hak dan turut campur dalam perpolitikan, namun raja pada masa itu benar-benar bertanggung jawab sepenuhya kepada rakyat. Hingga kini pola pikir masyarakat Indonesia masih terpengaruh pola pikir masyarakat Jawa dimana Pulau Jawa seolah-olah menjadi pusat kekuatan politik Indonesia.




sumber-sumber:
Alfian & Nazaruddin Sjamsuddin. Profil Budaya Politik Indonesia. Jakarta: PT. Temprint, 1991
Almond, Gabriel A. & Sidney Verba. Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara. Princeton, NJ: Princeton University Press, 1963.
Budiardjo, Miriam: Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar